P R O J O
Fr. Alfonsius Penyabar Laia
ret-ret akhir tahun 2010 bersama teman-teman seangkatan | di TOR St. Markus Pematangsiantar |
Pada suatu kesempatan libur tahunan, sebagai calon imam
diosesan yang sedang mengikuti proses formatio di Seminari Tinggi Santo Petrus
pematangsiantar, saya mengisi liburan di sebuah Paroki. Selama satu minggu di paroki
yang dilayani oleh para Pastor dari suatu Ordo tersebut, saya berjumpa dengan umat.
Ketika menghadiri perayaan Ekaristi bersama umat dimana saya menggunakan jubah
putih, seperti (calon) imam diosesan lainnya, banyak yang merasa heran. Ada
orang asing dalam kawanan mereka. Maklum, putera paoki itu baru satu orang yang
terpanggil menjadi calon imam diosesan. Di antara umat yang
hadir ada yang cukup kenal dengan Projo (sapaan lain bagi imam diosesan). Dia berkomentar tentang Projo yang
menurut saya agak janggal dan perlu diperbaiki. Dikatakan bahwa Projo itu
adalah imam yang kaya, hidup mewah, boleh suka-suka dan hidup tidak teratur.
Benar tidaknya konsep tentang imam diosesan ini tergantung pengalaman
perjumpaannya dengan para imam yang disebutnya, tetapi ini merupakan kesimpulan
yang salah. Tidak bisa dikenakan kepada semua imam diosesan.
Benar,
bahwa konsep semacam itu tumbuh dikalangan umat bahkan dikalangan para biarawan
dan biarawati sendiri. Saat memulai kuliah Filsafat di STFT St. Yohanes ada
sejumlah suster sekelas dengan saya. Di antara mereka ada yang berkomentar hal yang sama bahwa Projo adalah imam yang kaya, dll. Pemahaman ini sudah lama hidup dalam benak umat beriman
bahwa imam diosesan
diidentikkan dengan imam yang kaya. Masa ia? Alasannya ialah bahwa imam
diosesan tidak mengingkarkan kaul. Memang imam diosesan tidak mengikrarkan kaul
yakni tiga nasehat injili; kemiskinan, kemurnian dan ketaatan. Kaul hanya
berlaku bagi biarawan/biarawati yang hidup seturut kharisma pendirinya. Dalam penghayatan
ketiga kalu tersebut, seorang biarawan/biarawati mengejar kesucian hidup dalam
doa, karya dan kesaksian hidup sehari-hari. Kendati tidak mengucapkan tiga
nasehat Injili, bukan berarti bahwa tiga keutamaan cinta kasih itu tidak
berlaku bagi setiap imam (calon) imam Projo. Teringat ketika menerima jubah
pada 4 Oktober 2007, dalam doa penyerahan diri dimohonkan kekuatan rahmat Allah
agar membantu untuk menghayati tiga nasehat Injili ini dalam totalitas diri
sebagai yang terpanggil. Dan, ketika seorang calon imam Projo menerima tahbisan dari Uskup, ia
mengucapkan tiga nasehat ini. Bagi setiap imam (calon) Projo hal ini disebut
janji. Sebagai imam, seorang imam Projo hidup dalam kemurnian dengan bertarak
pada perkawinan. Hidup sederhana dengan penghayatan yang total terhadap
kemiskinan dan berjalan dalam ketaatan kepada Uskupnya sebagai “tuan” dan bapa
baginya. Dengan cara demikian, setiap imam Projo dalam hidup sebahari-hari
berupaya mencapai kesucian hidup dalam intimitas cinta kepada Allah dan kepada
sesama manusia dimana ia berkaraya. Maka, tidak seorangpun imam diosesan yang
katanya karena tidak mengucapkan kaul kemurnian boleh menikah, atau hidup kaya
raya sementara umat yang dilayaninya hidup dalam garis kemiskinan dan tidak ada
imam diosesan yang pelayanannya eksis tanpa uskup.
Berbicara
tentang penghayatan kemiskinan dan ketaatan, dikalangan kami dalam kebersamaan
dengan saudara-saudara dari berbagai ordo, kami kerap kali berkomentar: “Kalian
(maksudnya biarawan) mengikrarkan kaul, kami yang menghayati”. Tentu, ini
hanyalah komentar seloroh. Yah, sekedar menghidupkan suasana persaudaraan agar
semakin akrab dengan komentar yang agak miring itu. Bukankah, kedewasaan seorang
individu ditentukan sejauh mana ia sanggup menerima ejekan dan mengartikannya
secara positif? Benar saja, komentar ini sering mengundang tawa karena diikuti
berbagai komentar. Kendatipun sekedar seloroh, kiranya komentar ini mengandung
makna yang kiranya mengajak setiap kita berefleksi. Bukankah, suatu pernyataan
lahir dari realitas? Saya tidak mengatakan bahwa biarawan/biarawati tidak
sepenuhnya atau setengah hati menghayati kaulnya, dan justru imam diosesan yang
sungguh-sungguh menghayati nasehat Injili tersebut. Setiap subjek terpanggil
dianugerahi rahmat untuk menghayati dan mengartikan hidup panggilannya secara
benar dan penuh dedikasi kepada Allah. Tiga nasehat Injili yang diwariskan oleh
Yesus kepada Gereja-Nya merupakan media mencapai kesucian hidup. Setiap kita
diapanggil untuk hidup suci di hadapan Allah. Yesus berkata: “hendaklah kamu
kudus, sama seperti Aku adalah kudus”. Maka, kualiats hidup kita menentukan
konsep yang tumbuh dalam lingkungan komunitas Gerejawi kita.
Berbicara
tentang ketaatan, ada isitlah yang hidup dikalangan para imam bahwa imam
diosesan lebih taat dibandingkan imam dari ordo atau konggregasi atau serikat.
Benarkah demikian? Imam praja adalah imam yang ditahbisan untuk menghayati satu
imamat dengan Kristus dalam Gereja lokal atau dioses. Secara penuh, imam
diosesan menghayati imamatnya dalam kepenuhan imamat Kristus sebagai figur
utama setiap imam diosesan. Imam diosesan tidak memiliki figur pendiri seperti
pada ordo atau konggregasi atau serikat. Imam Diosesan didirikan oleh Kristus
sendiri. Maka, Kistus menjadi model hidup setiap imam diosesan. Dia yang adalah
Allah dari Allah, rela turun ke dunia menjumpai manusia dan hidup dalam kesederhanaan
serta menjadi serupa dengan manusia (bdk. Filipi 2:…).
Ketaatan kepada Kritus sebagai Imam Agung, diaktualisasikan
dalam relasi dengan Uskup diosesan. Secara relasional, imam diosesan wajib dan
terikat membangun hubungan communio,
yang bersifat kanonik, spiritual dan sakramental dengan Uskup. Secara kanonik
imam diosesan eksis apabila memperoleh surat inkardinasi dari Uskup. Surat ini
memberi dasar wewenang, hak sekaligus kepada imam praja untuk selalu dan “tetap
dipersatukan dengan Uskup berdasarkan penugasan baru dan secara khusus
ditempatkan untuk mengabdi persekutuan khusus, yaitu Dioses atau Keuskupan.
Secara sakramental kepenuhan imamat seorang imam, keseluruhan pelayanan suci
berada pada Uskup, sebab dengan tahbisan Uskup, diterimakan kepenuhan Sakramen
Imamat ke atas diri orang tertahbis. Imamat imam projo merupakan partisipasi pada imamat Uskup. Selain bersifat
kanonik dan sakramental, persatuan antara imam diosesan dengan Uskup juga bersifat spiritual. Secara
spiritual, bagi imam projo Uskup adalah “bapa dan gembala” sebaliknya, bagi
Uskup imam diosesan adalah “seorang sahabat dan putra”.
Sebagai
imam untuk keuskupan, seorang imam Projo menghayati hidupnya sebagai alter christi dalam pelayanannya secara
sakramen dan sakramentali di tengah-tengah umat yang dipercayakan kepadanya.
Keuskupan merupakan lahan atau “rumah” bagi imam Projo. Imam projo diutus
ketengah-tengah dunia, masyarakat, umat Allah untuk penyuciannya. Dalam ciri
“ke-dunia-an” inilah seorang imam projo menghayati spiritualitasnya. Spiritualitas
imam diosesan tergambar dalam situasi konkret umat Allah dalam wilayah
teritorialnya secara total. Spiritualitas yang dihidupi setiap imam diosesan
adalah spiritualitas kemuridan dan sipritualitas kerekanan, spiritualitas
kesahabatan atau spiritualitas persaudaraan. Dengan demikian, imam praja
membawa Dia, Sang Guru kepada saudara-saudarinya dan membangkitkan semangat
untuk mencari Dia (lih. PDV,
no. 46).
Dalam WARKES edisi no. 22/VI/2012, Yang Mulia Mgr.
Ludovicus Simanullang (Panggilan calon Imam), memaparkan secara statistik presentase imam Projo Keuskupan Sibolga. Saat ini, imam
projo Keuskupan Sibolga berjumlah 34 orang. Dari jumlah tersebut, secara presentase
imam yang berasal dari Keuskupan Sibolga sendiri (Dekanant Nias dan dekanat
Tapanuli) sangat minim yakni 13 orang. Maka, Bapak Uskup mengajak umat untuk
bertanya: “mengapa demikian?” Ajakan ini mengandung makna yang sangat dalam. Realitas ini merupakan tantangan sealigus peluang bagi umat Keuskupan
sibolga
sendiri. Tantangan karena Gereja Keuskupan adalah milik
semua umat Allah. Artinya, perjalanan Gereja ini tidak hanya ditanggungjawapi
oleh Uskup dan para imamnya, tetapi semua umat Allah. Di sisi lain, kenyataan
ini menjadi peluang untuk menyadarkan kaum muda supaya mendengarkan panggilan
Allah atas diri mereka, juga keluarga supaya memberikan putera mereka bagi
pengerjaan panenan kebun anggur Allah.
Akhirnya,
tidak jarang keterarikan seorang calon imam pada serikat, ordo atau terekat ditentukan
oleh konsep atau pemikiran yang tumbuh dalam lingkungan keluarga, paroki dan
stasi. Sayang bahwa kerapkali konsep yang tumbuh itu, tidak sesuai dengan
kenyataan. Apa dan bagaimana sebenarnya imam projo? Jawaban atas pertanyaan ini cukup diberikan dengan
jawaban Yesus kepada para murid Yohanes Pembabtis yang hendak mengukiti-Nya: “Mari
dan lihatlah”. Siapa projo sebenarnya? Ya, mari dan lihatlah…!!! Dengan hadir dan melihat
secara nyata kehidupan para imam (calon) projo niscaya akan tumbuh cinta yang
mengabdi. Perlu diingat betapa pentingnya keberadaan imam projo dalam suatu
keuskupan. Meminjam pernyataan klasik bahwa:
”Sebuah Gereja partikular tanpa imam diosesan sama dengan
‘harimau ompong’, tanpa kekuatan”. Imam diosesan merupakan tunggal dan akar
Gereja partikular.
Note:
artikel ini telah dimuat dalam Majalah Warta Keuskupan Sibolga.