BIADAP
Hei, petinggiku, junjunganku,
wakil rakyatku di parlemen sana!
Orang tua teladan bagi anak.
Teladanmu di parlemen sana
mengajarku kata ini ‘ biadap’
Untuk kukatakan padamu.
Akan kukatakan kau biadap!
Kau pikir, aku milihmu hanya
untuk tidur-tidur dan absen
Di atas kursi beralaskan darah
dan air mata rakyat jelata itu?
Di mana kau sulap dengan
keangkuhan?
Biar kau tahu suaraku itu suara
Tuhan.
Dan, kau pasti berkata;
Peduli amat….. Tuhan yang salah.
Tidak! Kau yang biadap.
Hei…..engkau yang duduk di sana,
Bertahta kursi kecongkakan,
berdasi kemunafikan, berkemeja darah para miskin jelata,
Sudah berapakah korbanmu? Belum
puaskah engkau?
Sudah banyakkah kekayaanmu? Belum
penuhkah peti durhakamu?
Ya…. Bukankah itu yag kau kejar? Berbingkai
kepentingan bangsa?
Malu… sungguh memalukan….
Dan, aku bertanya; Tahukah engkau
siapa dirimu?
Kau bilang patriot bangsa.
Tidak! Kukatakan kau penjajah
dibalik layar duka lara manusia Indonesia.
Kau tak ubahnya si komunis dan
sikapitalis!
Durhaka,
Manusia bebal, tak bermoral.
Salahkah aku mengatakan ini…..?
Tidak….!
Aku anak bangsa pecinta
manusai-manusia yang dipermiskin oleh sempitnya politikmu.
Aku anak bangsa yang tahu hanya
bertanya;
Siapa, dimana, apa, mengapa, dan
untuk apa para wakil rakyatku?
Petinggiku yang mulia itu…..
Junjunganku…. Dari suaraku itu?
Hei….. Si ngantuk, siabsen di
parlemen sana,
Tahukah kau, ingatkah kau, masih
terciumkah olehmu
Harumya darah para pahlawan
Masih terasakah olehmu manisnya
darah muitara mereka?
Untuk apa? Ya…. Demi bangsa yang
kau injak-injak ini.
Masih cintakah engku Merah-Putih
Atau jangan-jangan tak lebih
sebatas kain pembalut nanahmu saja.
Ah, kau sungguh tega.
Hatimu sempit tak seluas kau
bayangkan. Kasihan aku melihatmu.
Oh… maaf terlalukah lancangkah
aku ini?
Tidak! Aku anak bangsa, normal
jiwanya, tulus cintanya.
Seandainya….. percuma! Aku
terlalu cinta bagi pahlawanku, Garudaku, merah-putihku, sesamaku.
Ya… aku anak bangsa
Hanya bisa memujimu, mengutukmu jua.
Aku hanyalah setitik dari beribu
kubik manusia-manusia yang bertanya,
Siapa, dimana, apa, mengapa,
untuk apa para sesepuhku itu?
Para biadap, manusia-manusia
kotor itu?
Oh, bangsaku Indonesiaku,
Sudahlah hapuslah laramu,
Sudahlah jangan tangisi para
biadap itu.
Maukah engkau memaafkan mereka?
Sudahlah berdoa untuk mereka dan
anak cucunya.
Berdirilah kokoh seperti
sediakala, terbanglah sang Garuda gagah perkasa.
Aku anak bumi ada di sini
untukmu…..
Berkata, berjuang, mengamati dan
mengutuk mereka jua.
kebangkitan nasional dari semua keterpurukan, hanya bisa terjadi apabila kita, sebagai warga negara, sadar bahwa negara ini milik kita. Individu yang peka tidak akan membiarkan miliknya dirusak oleh siapaun.
BalasHapus