Minggu, 04 Maret 2012

Bersaksilah!!!

BERSAKSILAH!

Kisah Para Rasul Bab 6 dan 7, memaparkan kisah perjalanan iman Santo Stefanus, Diakon dan martir pertama. St. Stefanus adalah pribadi yang penuh wibawa iman, kuasa dan keyakinan sehingga ia tidak takut dihadapkan ke pengadilan agama Yahudi yang menuduhnya dengan tuduhan palsu dana diizinkan untuk mengucapkan pembelaan. Apa yang terjadi? Bukan Stefanus yang didakwa, sebaliknya para pemimpin agama Yahudilah yang menjadi terdakwa. Karena itu mereka merasa terhina, sehingga mereka marah dan menyeret sang ksatria Kristus itu ke luar kota Yerusalem dan melemparinya dengan batu sampai mati. Yang paling menarik adalah pengampunan yang diberikan oleh St. Stefanus bagi para pembunuhnya. Sebelum ia menghembuskan nafas terakhir Stefanus berlutut dan berdoa: “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka” (Kis 7:60). St. Stefanus telah memenuhi perintah sang Guru agar mencintai, mengampuni dan berdoa bagi para musuh. Hmm, memang logika cinta Allah terkadang tidak mampu dicerna oleh logika manusiawi kita. Tapi itulah yang sebenarnya dan Allah sendiri dalam Yesus Kristus telah membuktikannya. Cinta dan pengampunan yang lahir dari hati tulus membuka jalan keselamatan, membawa kebahagiaan dan mencipta damai di bumi.

Kesaksian Stefanus hanyalah salah satu dari kekayaan iman yang dapat kita lihat, kita saksikan dari buku suci dan dari perjalanan sejarah Gereja purba. Kesaksian martir pertama ini mengajarkan beberapa hal penting bagi kita.

Pertama, militansi iman. Dunia kita dewasa ini amat diwarnai dengan situasi glamoritas. Hal itu tampak jelas dari perkembangan cara hidup manusia yang tidak dapat dilepas dari pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dizaman ini muncul berbagai jenis jejaring teknologi, lahirnya ideologi-ideologi baru, temuan-temuan baru dalam ilmu pengetahuan sains, dan lain sebagainya. Segala jenis perkembangan ini sangat ditentukan oleh roda pergerakan teknologi! Manusia merupakan makhluk yang terus berkembang dalam proses mencapai kesempurnaan hidup. Perkembangan dunia ini sangat penting bagi kelangsungan proses tersebut, tetapi disisi lain menjadi tantangan. Kita perlu kristis dalam menilai dunia zaman ini. Jangan sampai kebutuhan-kebutuhan jasmani, materiil mereduksi keutamaan-keutamaan iman. Allah harus ditempatkan di atas segalanya. Jika demikian, secara logis kita harus bersiap menghadapi badai dunia; dunia yang menjunjung tinggi logisitas, trend gaya hidup baru, konsumerisme, individualisme dan isme-isme lainnya. Kita ambil sebuah contoh. Di beberapa negara Eropa muncul gerakan-gerakan maho (manusia homo) yakni perkawinan sejenis, dan Spanyol yang yang memiliki 90-an % umat Katolik telah melegalkan perkawinan ini secara hukum sipil. Bagaimana kita harus bersikap dengan relaitas ini. Ingat, mungkin saja ada banyak di antara kita yang menyembunyikan identitas mereka. maka, berhadapan dengan arus zaman ini kita harus mampu menjadi militan; kukuh, kuat dan setia dalam iman sampai mati. Kebanggan menjadi orang katolik harus tumbuh dalam diri kita; sekali Katolik, tetap Katolik, selamanya Katolik! Seorang katolik sejati tidak gampang terbawa oleh arus zaman. Katolik sejati selalu merefleksikan hidup dalam ketaatan kepada ajaran Kitab Suci, Tradisi dan ajaran magisterium Gereja. Seorang Katolik yang militan berani memprolakmasikan dirinya sebagai seorang katolik, kapan dan dimanapun! Orang katolik sejati adalah mereka yang menjunjungtinggi keadilan, martabat dan hak-hak azasi manusia, menegakkan dan menciptakan kerukunan dalam Gereja, masyarakat lokal dan masyarakat global.

Kedua, siap sedia menjadi laskar kebenaran. Ada lagu berbunyi demikian; “Aku bukan pasukan berjalan, pasukan berkuda, pasukan menembak, aku tidak menembaki musuh, Tapi saya laskar Kristus”. Laskar Kristus adalah orang yang siap mati demi kebenaran. Negeri kita adalah negeri dimana jiwa kebenaran sedang terengah-engah, hampir mati! Yang benar dipersalahkan, yang salah dibenarkan. Emang edan negeri ini; donya wes kewolak-walik (dunia sudah terbolak balik). Berhadapan dengan realitas ini, seorang Kristen menanggung tanggung jawab untuk menegakkan kebenaran. Tugas ini merupakan mandat dari Kristus. Setiap kita diutus untuk membaharui muka bumi dengan kasih ilahi. Menaburi cinta di dalam hati setiap manusia agar tegaklah kerjaan Allah; kerajaan damai, keadilan dan cinta kasih. Namun, kita sadar bahwa persatuan kita dengan Allah lewat babtisan tidak serta merta menjadikan kita sempurna. Kesempurnaan adalah milik Allah. Yang harus kita lakukan adalah membuka hati dan budi bagi Allah sepenuh-penuhnya: “Berbicaralah, sebab hambaMU ini mendengar” (1Sam 3:10). Dengan demikian, Allah sumber kebenaran sejati akan menempatkan dalah hati kita benih-benih kebenaran untuk diwartakan dan dipersaksikan. Setiap kebenaran membuka jalan bagi perdamaian pada tataran manusiawi dan membawa keselamatan dalam tingkat ilahi.

Ketiga, rela menderita demi cita. Cita-cita setiap orang Kristen adalah kebahagiaan kekal dalam persatuan dengan Allah dan para kudus-Nya. penglaman-penglaman kehidupan, baik penderitaan maupun kegalala-kegagalan bisa mengaburkan cita-cita ini. Kita gampang berputus asa. St. Stefanus bercita-cita untuk membumikan firman Allah supaya semua orang berdosa bertobat, mengenal Kristus dan dengan demikian diselamatkan. Cita-cita ini tidak gampang dicapai. Ia harus mati. Darahnya ditumpahkan demi kesuburan benih-benih iman itu, yang hingga kini kokoh. Berhadapan dengan tantangan, sepantasnya kita tiak boleh menyerah. Tantangan dan cobaan-cobaan dalam hidup ini, hanyalah satu cara agar kita kuat dan sadar bahwa ada Dia di atas segalanya yang mampu mengatasi setiap derita dan airmata kita. Jangan takut sebab Dia menyertai kita hingga akhir zaman. Apapun salibmu, apapun deritamu sobat, kan selalu ada surya ceria setelah hujan mereda. Mungkin kamu terantuk, bahkan terjatuh, tetapi Tuhan selalu siap menjawab keluh kesahmu. Sebab Ia tahu semua luka hatimu dan memahami segala ketakutanmu. Kesedihan yang menimpamu sepanjang malam akan segera berlalu saat fajar segar merekah. Sang juruselamat telah menantimu di atas sana tawarkan rahmat-Nya, kirimkan cinta penuh pesona. Apapun salib, apapun deritamu sobat, kan selalu ada pelangi setelah hujan mereda.

Akhirnya, setiap kita dipanggil menjadi saksi iman seperti St. Stefanus. Seorang saksi adalah seorang yang cinta kebenaran. Saksi yang benar tidak pernah memanipulasi kebenaran. Kebenaran diwartakan sesuai dengan apa yang dilihat, dialami dan dirasakan. Seoarang saksi adalah orang yang perkataan, pikiran dan perbuatannya dijiwai oleh cinta ilahi. Saksi adalah terang dan garam

1 komentar:

  1. fides et ratio (iman dan akal budi). sejauh akal budi; iptek, sains menjadi sarana pengejawantahan iman akan Allah, tidak ada pertentangan!

    BalasHapus