Jumat, 30 Maret 2012

Ikonoklasme


MASALAH  IKONOKLASME DALAM GEREJA

Pengantar
            Kata ikonoklasme berasal dari kata dasar bahasa Yunani yaitu eikon yang berarti lukisan.[1] Arti lain dari ikon adalah gambar, kesamaan, representasi dari sesuatu; gambar atau tanda dari sesuatu yang menunjukkan atau mewakili sesuatu.[2] Dalam arti sempit, ikon sering dimengerti sebagai gambar-gambar suci yang dibuat pada papan (kayu) dengan teknik khusus untuk sebuah praktik otentik-kerohanian pelukisan ikon. Dalam arti yang luas, ikon sering dimengerti sebagai semua jenis lukisan suci, mosaik, dari emas atau perak yang dibuat dalam rangka kegiatan membantu peribadatan Gereja Timur.[3] Gereja Katolik Timur mempunyai kebiasaan menghormati tokoh-tokoh dalam bentuk gambar-gambar suci, lukisan-lukisan suci yang begitu populer dan sangat berkembang pesat.

Latar Belakang Munculnya Gerakan Ikonoklasme
Latar belakang munculnya ikonoklasme didasarkan atas kecemasan terjadinya penyalahgunaan pada tatanan peribadatan. Maksudnya dengan hadirnya ikon-ikon atau gambar-gambar tersebut dalam Gereja, dikuatirkan orang tidak menghormati apa yang dihadirkan oleh gambar melainkan berhenti pada gambar belaka. Jika demikian, maka peribadatan berubah menjadi penyembahan berhala.
Ikonoklasme adalah sebuah gerakan intern dalam Gereja Katolik Timur yang anti terhadap pemakaian gambar-gambar seni religius sekitar tahun 717 masehi hingga tahun 843 masehi. Gerakan ikonoklasme adakalanya dikaitkan dengan suatu paham yang mengacu pada gerakan sosio-religius. Tetapi secara teologis, kontroversi tentang gambar-gambar (seni) religius ini menyangkut konflik pandangan kristologis dari abad kelima hingga kedelapan karena ikonoklasme dikaitkan dengan monophsitisme yang berkembang di lingkungan kekaisaran sejak Konsili Khalsedon tahun 451. Salah satu pokok yang diperdebatkan saat itu adalah ” kedagingan Kristus”, bahkan sesudah peristiwa inkarnasi Kristus bukanlah subjek layaknya manusia biasa yang disarati dengan kelemahan.[4]
  • Aspek sosial dan ekonomi ikonoklasme.
Pada tahap pertama, para pembela hormat bakti terhadap ikon terdiri dari para rahib. Tahun-tahun terakhir masa pemerintahan kaisar Konstantinus V Capronimus (741-775), banyak di antara para rahib menjadi martir dan pengaku iman karena membela praktik devosional pada ikon. Kemenangan para devotan tahun 815 diinspirasikan dan digerakkan oleh Abbas Teodorus serta para rahib di Studiun Konstantinopel. Tidak ada keterangan bahwa para penentang devosi pada ikon telah bersikap antimonastik.
            Tahap kedua, kelompok devosional menarik perhatian sebagian besar penduduk periferi ibukota Bisantin. Mereka adalah pengrajin, kaum proletar di perkotaan, yang tetap melakukan bakti penghormatan terhadap gambar-gambar suci. Perihal devosi, doa-berdoa menjadi begitu subur di kalangan orang kecil dan kelas bawah.
  • Aspek doktriner ikonoklasme.
Kontroversi ikonoklasme pada dasarnya mengenai sasaran iman Kristen   dan sifat peribadatan Kristen baik secara pribadi maupun secara bersama. Sikap permusuhan ini tersebar ke Asia Kecil yang mungkin disuburkan oleh tantangan kaum Muslim yang tidak memberi tempat pada ”ikon” dalam tata peribadatan.

Berbagai Reaksi atas Ikonoklasme [5]
Berhadapan dengan gerakan ikonoklasme yang semakin marak, maka Kaisar Konstantinus V (Capronimus) mengundang sinode para uskup dan sebanyak 338 uskup yang hadir tanpa paus ataupun salah seorang Batrik Timur ( tahun 754). Sinode ini memutuskan semua bentuk penggunaan ikon dalam tata peribadatan Gereja. Kaisar Konstantinus V (Capronimus) melaksanakan intriknya dengan mengerahkan kekuatan senjata: membungkam, mengasingkan, menghukum mati beberapa orang yang gigih membela kultus terhadap gambar-gambar suci. Selain itu, dia juga menyita harta milik Gereja di Sicilia bahkan kemudian ia mencaplok Sicilia, Calabria, dan Illiria yang meliputi Semenanjung Balkan kecuali Tracia untuk menjadi yurisdiksi batrik Konstantinopel.
Kaisar Leo V Armeneus (pengganti Capronimus) lebih bertindak secara moderat. Ia tidak membekukan ketentuan-ketentuan para pendahulunya (tidak mengecam poliotik dan tidak menindak para pelanggar ketentuan sebelumnya). Para rahib yang diekskomunikasikan, diperbolehkan untuk kembali pada tempat sebelum mereka diasingkan. Irene tampil sebagai kaisar ketika ayahnya meninggal dunia. Irene kemudian mengadakan sinode untuk memulihkan kultus-kultus terhadap penggunaai ikon. Di tangan Irenelah bersama kekuatan para serdadunya mengadakan konsili ketuju di Nicea.
Naiknya Leo IV Armenous (813-820), Mikhel II Balbus (820-829) serta Teofilus (820-842) membangkitkan kembali gerakan pemusnahan ikon. Mereka memberlakukan kembali ketentuan sinode  tahun 754 bahkan terjadi pengejaran  dan penganiayaan selama kira-kira 30 tahun. Pada periode rentang waktu ini, berkembanglah teologi yang mengecam gambar-gambar untuk digunakan dalam peribadatan, tetapi teologi yang sama juga menolak menyamakan antara ikon dengan berhala.

Gereja Mendapat Pencerahan
Para bapak konsili berkumpul di bawah pimpinan utusan paus untuk menghapuskan keputusan-keputusan sinode tahun 754. Konsili memutuskan bahwa Gereja selayaknya dan seharusnya memberikan penghormatan kepada gambar-gambar Kristus, Bunda Maria, para malaikat, dan kepada para santo-santa karena penghormatan itu tidak berhenti pada gambar itu sendiri melainkan kepada mereka yang ditampilkan oleh gambar tersebut. Keputusan ini tetap dipertahankan oleh pengganti Irene yaitu: Niceforus I (802-811) dan Mikhel I Rangabe ( 811-813) selama kira-kira 13 tahun.
Munculnya Ratu Teodora (seperti halnya Irene), yang menjadi kaisar  untuk mendampingi  anaknya Mikhel III  yang merupakan titik awal sikap Gereja yang resmi terhadap kedudukan Gereja yang resmi terhadap ikon-ikon pada Gereja selanjutnya. Ratu Teodora menetapkan penghormatan terhadap ikon atau gambar-gambar suci, bahkan memegang teguh ajaran tentang kebaktian terhadap gambar-gambar suci melalui Sinode Konstantinopel (Maret 843). Hingga saat ini, penggunaan ikon atau gambar-gambar suci dalam peribadatan Gereja diterima sebagai sarana bantu dalam peribadatan dan sebagai sarana bantu untuk berjumpa dengan Allah. Gereja sangat dilarang untuk menyembah barang-barang rohani karena hanya  Tuhanlah yang pantas disembah.[6]
            Kebenaran ortodoksi ini tidak hanya bersifat afirmasi terhadap kebenaran, tetapi juga menciptakan perkembangan baru dalam kesenian suci, kultus relikui, dan liturgi. Perkembangan lain meliputi pengaruh para rahib yang berperanan besar dalam kehidupan Gereja Timur, menandaskan peranan para uskup dalam kesalehan populis dan posisi Gereja sedikit banyak konserfatif. Ada suatu perjuangan yang baru yaitu keberanian membela kebebasan Gereja dari urusan politik negara.

Penutup
            Gereja melewati perjalanan hidupnya dengan salah satu tantangan dari  berbagai bidaah, yaitu ikonoklasme.Golongan yang tidak setuju akan pemakaian ikon dalam peribadatan mengekskomunikasikan golongan yang tetap mempertahankan penggunaan ikon dalam tata peribadatan. Bahkan dalam perjalanannya, ikonoklasme semakin berkembang dan menjadi kaum fundamentalis Gereja.
            Ikonoklasme dikutuk oleh Konsili Nicea II pada tahun 787. Konsili Nicea membela penghormatan terhadap gambar-gambar kudus dengan menyatakan:”karena semakin sering seseorang merenungkan gambar-gambar kudus ini, semakin suka cita ia dibimbing untuk merenungkan pribadi asli yang diwakili, semakin pula ia ditarik kepadanya. Karena penghormatan yang kita berikan pada suatu gambar menyangkut gambar asli di baliknya, dan siapa yang menghormati gambar berarti menghormati pribadi yang digambarkan di dalamnya.[7]

DAFTAR PUSTAKA

Heuken, Adolf. ”Ensiklopedi Gereja” , Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.

Bagus, Lorens. ”Kamus Filsafat”, Jakarta: Gramedia, 1996.

Saunders, P. William.” Sejarah Gereja Katolik”, terj. Yesaya. http: www. Indocel. Net/ Yesaya.

Kristiyanto, Eddy. Gagasan yang Menjadi Peristiwa, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Laarhoven, Kleopas. Gereja Abadi, Gunungsitoli/ Nias: [tanpa penerbit], 1974.





[1] Adolf Heuken, SJ,”Ensiklopedi Gereja,” (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), hlm. 71.
[2] Lorens Bagus, ”Kamus Filsafat,”  (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 307.
[3] William P. Saunders, “Sejarah Gereja Katolik, terj. Yesaya, ” (http: www. Indocel. Net/Yesaya).
[4] Ibid.
[5] Eddy Kristiyanto, OFM, Gagasan yang Menjadi Peristiwa, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 145-149.
[6] William P. Saunders, Op. Cit.
[7] Kleopas Laarhoven, Gereja Abadi, (Gunungsitoli / Nias: [tanpa penerbit], 1974), hlm. 19. 

Kis 10:34-43


UNIVERSALITAS KESELAMATAN ALLAH
Suatu Uraian Eksegetis-Teologis Atas Kisah Para Rasul 10:34-43

1.   Pengantar
        Kisah Rasul 10:34-43 ini merupakan satu kesatuan dengan bagia-bagian yang sebelumnya, KRas 10:1-33. Bagian ini secara umum menceriterakan bagaimana misi perjumpaan Petrus dengan Kornelius yang akhirnya bertobat dan dibabtis dengan segenap isi rumahnya. Petrus sebagai rasul yang telah menerima karunia roh Kudus mampu mewartakan Injil keselmatan bagi semua bangsa; Yahudi maupun Yunani, kelompok yang bersunat maupun yang tidak bersunat karena Roh Kudus. Peran Roh Kudus sangat sentral dalam pewartaan seorang nabi. Petrus berkhotbah atas inisiatif atau dorongan dari Roh Kudus. Ia diutus secara sah oleh Sang Guru, Yesus Kristus yang pernah disalibkan, namun hidup kembali.
        Khotbah Petrus pada KRas 10:34-43 telah diantisipasi dalam dua peristiwa; pertama, penglihatan yang dialaminya. Tampak baginya sebuah benda berbentuk kain lebar yang isinya terdiri dari berbagai jenis binatang. Petrus menolak menyembelihnya. Namun, suara yang mengatakan “Apa yang dintayakan halal oleh Allah tidak boleh engkau nyatakan haram” (Kis 10:15b), membuka mata hati imannya. Pernyataan Tuhan tersebut menegaskan sifat kebenaran iman yang dikerjakan oleh Roh Kudus dalam diri setiap orang dari segala bangsa. Hal ini merupakan antisipasi khotbah Petrus pada ayat 34-36. Kedua, keselamatan sebagai inisiatif dari Allah sendiri. Pewartaan Injil keselamatan yang diwartakan Petrus kepada Kornelius dan seisi rumahnya, telah didahului sebuah kisah penglihatan oleh Kornelius sendiri. Ia saleh, ia benar dihadapan Allah dan ia takut akan Allah. Maka, meskipun ia dari bangsa lain , keselamatan juga terjadi padanya, karena Allah berkenan.[1]
        KRas 10:34-43 ini merupakan pewartaan atau pemakluman Petrus tentang Yesus orang Nazareth yang diurapi oleh Allah dengan Roh Kudus dan penuh kuasa. Yesus yang diwartakan itu adalah Yesus yang menyelamatkan. Ia banyak menyembuhkan dan melakukan banyak mukzizat. Tampaknya di sini hendak dipaparkan fakta iman terhadap Yesus yakni Yesus yang pernah berkarya di dunia, bersabda, berbuat baik karenanya Ia disalibkan, namun dibangkitkan oleh Allah, dan kebangkitan-Nya membawa hidup kekal bagi setiap yang percaya. Maka, inti pewartaan Petrus terdapat dalam ayat 38.

2.   Uraian Ekseget dan Teologis KRas 10:34-43
Ayat 34-35lalu mulailah Petrus berbicara katanya”. Secara harafiah digunakan kata; ‘Petrus berbicara’ (having opening his mount). Ungkapan ini menegaskan otoritas khotbah Petrus sendiri, yang memberi bobot kebenaran pada pewartaannya. Kata-kata pertama yang diungkapkan oleh Petrus adalah ungkapan yang sangat penting.
        “Sesungguhnya aku telah mengerti bahwa Allah tidak membedakan orang”. Petrus berbicara tentang universalitas keselamatan Allah. Allah tidak memandang orang dan tidak dimonopoli oleh kelompok tertentu. Kepada Kornelius, Petrus memaklumkan Allah sebagai Allah segala bangsa, baik Yahudi maupun Yunani, Ia tidak memiliki bangsa favorit. Sebagai orang Yahudi, Petrus lebih memperhatikan sisi pewartaan di tengah-tengah bangsa kafir tersebut. Dalam Perjanjian Lama, Allah diyakini sebagai Allah orang Israel. Bangsa Israel merupakan bangsa pilihan Allah. Allah adalah raja sekaligus Tuhan mereka. Tetapi, dalam perjanjian Baru, berkat darah Anak Domba semua bangsa disatukan sebagai milik Allah. Syaratnya adalah beriman. Petrus memaklumkan bahwa Allah adalah Allah semua bangsa.[2]
        Kendati demikian, aspek keterpilihan Israel tidak terhapuskan. Keterpilihan Israel sebuah antisipasi kedatangan Mesias, seperti telah dijanjikan sejak zaman Abraham (Kej 12:1-3). Bukan suku bangsa orang berkenan dihadapan Allah dan kemudian diselamatkan. Seseorang atau setiap bangsa dikatakan berkenan jika memenuhi syarat-syarat dalam ayat 35; “…, yang takut akan Dia dan mengamalkan kebenaran”.
        Pertama, takut akan Allah berarti percaya sepenuhnya pada-Nya. Allah menjadi satu-satunya landasan dasar kehidupan. Orang yang takut akan Allah sedemikian rupa menyelaraskan kehendaknya pada kehendak dan tuntutan Allah dalam Roh Kudus. Yesus adalah contoh otentik orang yang takut akan Allah. Takut akan Allah membenarkan orang. Kornelius dan seisi rumahnya berkenan dihadapan Allah karena perbuatannya yang takut akan Allah.
        Kedua, mengamalkan kebenaran. Bahasa Yunani menerjemahkan kebenaran dengan euvangelion. Terjemahan ini mengaju pada pribadi Yesus yang diwartakan para rasul. Yesus adalah Injil, Sang Kebenaran. Maka, keselamatan diperoleh dalam iman akan Yesus Sang Kebenaran.

Ayat 36: “Itulah firman yang Ia suruh sampaikan kepada orang-orang Israel, yaitu firman yang memberitakan damai sejahtera oleh Yesus kristus, yang adalah Tuhan dari semua orang”. Bagian ini mempertegas ayat 34 dan 35, tentang kedudukan Allah sebagai Allah semua bangsa. Di sini termuat suatu tindakan Allah yang mempersiapkan keselamatan dalam diri Yesus Kristus. Yesus adalah kepenuhan ‘damai sejahtera’, melalui dan dalam diri-Nya terdapat keselamatan yakni damai sejahtera bagi semua bangsa. Maka, Yesus adalah Tuhan atas segalanya dan juga dalam membagikan berkat-Nya.[3]

Ayat 37: “Kamu tahu segala sesuatu yang terjadi di seluruh tanah Yudea, mulai dari Galilea, sesudah babtisan yang diberitakan oleh Yohanes”. Pokok uraian ayat ini adalah hidup Yesus Kristus di depan umum. Babtisan Yohanes yang diterima oleh Yesus  merupakan bagian yang sentral dalam pewartaan Injil Lukas. Boleh dikatakan babtisan ini menjadi setting sekaligus awal dimana Yesus tampil ke panggung dunia. Hal ini terdapat dalam Lukas 3:3 yang separalel dengan Kis 1:22. Secara terminologi, bagian ini merupakan sinonim Yesus dari Nazareth. Pada bagian ini Petrus mengulangi pewartaan Yohanes tentang Mesias, Raja yang akan datang. Hal ini mengatisipasi 11:16; “Maka teringatlah aku akan perkataan Tuhan; Yohanes membabtis dengan air, tetapi kamu akan dibabtis dengan roh Kudus”.

     Ayat 38: Yesus dari Nazaret: Bagaimana Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus dan kuat kuasa, Dia, yang berjalan berkeliling sambil berbuat baik dan menyembuhkan semua orang yang di kuasai iblis, sebab Allah menyertai Dia”. Petrus menyampaikan isi pewartaan secara singkat dan tegas. “Yesus dari Nazaret” Dengan mengungkapkan ini Petrus menyampaikan aspek historisitas Yesus yang pernah hidup di Nazaret, berkarya, berbuat baik dan melakukakn mukzijat. Pernyataan ini menegaskan isi pewartaan yang sebenarnya sekaligus kualitas yang ada di dalamnya.[4]
        “Di urapi oleh Alla dengan Roh Kudus”, mengingatkan pada kata-kata nabi Yesaya; “Roh Tuhan Allah ada padaku, oleh karena Tuhan telah  mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara…, Untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan dan hari pembalasan Allah kita….”(Yesaya 16:1-2), yang pernah dibacakan oleh Yesus di Sinagoga. Ungkapan ini menegaskan seluruh pewartaan Yesus sebagai hamba Allah yang telah diurapi dengan Roh Kudus. Di urapi dengan Roh Kudus berarti dipilih atau dipisahkan secara khusus oleh Allah. Dengan demikian Ia dimasukkan dalam garis keturunan Daud, Tuhan ada padanya. Kegenapan ini terjadi pada pembabtisan yang diterima dari Yohanes dalam simbol burung merpati. Di sini sekaligus terjadi penegasan ke-Mesias-an Yesus.
        Yesus sebagai Mesias membebaskan manusia dari penderitaan terutama yang disebebkan oleh kuasa iblis. Dengan kuasa yang dimiliki-Nya Yesus membebaskan manusia dari genggaman iblis. Allah kuat kuasa telah mematahkan kuasa iblis.
            Pokok uraian Petrus menyangkut hidup Yesus di depan umum. Ia memulai dengan pembabtisan yang dilakukan oleh Yohanes sebagai pemenuhan nubuat para nabi, bahwa Ia akan diurapi dengan Roh Kudus. Yesus melaksanakan tugas profetis-Nya dengan membebaskan orang dari penyakit dan lain sebagainya. Peranan Roh Kudus kembali ditegaskan di sini. Roh Kudus memampukan seseorang untuk melakukan pewartaan. Yesus adalah Nabi Allah yang benar menyelaraskan kehendak-Nya dengan kehendak Bapa di surga, Ia membangun relasi yang intim dengan Allah.
Ayat 39: “Dan kami adalah saksi dari segala sesuatu yang diperbuat-Nya di tanah Yudea maupun di Yerusalem; dan mereka telah membunuh Dia dan menggantung Dia pada kayu salib”. Pada bagian ini Petrus menegaskan kekasksian mereka bersama Yesus. Pewartaannya didasarkan pada kebenaran bahwa Yesus yang sekarang dikhotbahkan adalah Yesus yang benar-benar Allah, yang telah mati namun hidup kembali, ‘kami adalah saksinya’. Di sini jelas peran seorang utusan sebagai saksi. Pewartaan hanya bisa terjadi jika ada penyaksian. Dan, penyaksian selalu membawa pada kebenaran. Yesus yang diwartakan sekarang adalah Kebenaran.
        Berbeda dengan khotbahnya yang berapi-api dan penuh wibawa dihadapan Sanhendrin. Di sini ia tidak berbicara tentang orang-orang yang bersalah terhadap kematian Yesus di salib. Petrus di sini berbicara dalam bentuk orang ketiga; ‘mereka’ bukan ‘kamu’. Hal ini sangat logis, sebab Petrus berbicara bukan didepan orang-orang Yahudi, tetapi pada kelompok kafir dimana pewartaan itu disampaikan. Jadi, mereka sama sekali tidak bertanggung jawab atas kematian Yesus di salib.
        Kematian di salib adalah kematian yang paling hina dan paling keji. Seorang warga negara Romawi yang paling hina sekalipun tidak akan disalibkan. Keempat penginjil, seakan-akan sepakat meletakkan tangungan kematian Yesus pada orang-orang Yahudi dan para tua-tuannya. Seandainya mereka tidak ngotot, Herodes tidak akan menjatuhkan hukuman mati pada Yesus.
         Ayat 40-41:Yesus itu telah dibangkitkan Allah pada hari yang ketiga, dan Allah berkenan, bahwa Ia menampakkan diri, bukan kepada seluruh bangsa tetapi kepada saksi-saksi, yang sebelumnya telah ditunjuk oleh Allah, yaitu kepada kami yang telah makan dan minum bersama-sama dengan Dia setelah Ia bangkit dari antara orang mati” Yesus telah dibangkitkan, menampakkan diri dan para rasul adalah saksi-saksinya. Ini merupakan data-data valid historis keberadaan Yesus. Kebangkitan adalah pokok pewartaan iman jemaat purba. Iman didasarkan pada kenyataan bahwa Yesus yang disalibkan itu ternyata telah bangkit, dan para murid adalah saksinya. Mereka adalah saksi-saksi yang sebelumnya telah ditunjuk oleh Allah, yang makan minum dengan-Nya (Luk 24:41).
 Ayat 42:Dan Ia telah menugaskan kami untuk memberitakan kepada seluruh bangsa dan bersaksi, bahwa Dialah yang ditentukan Allah menjadi Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati”. Pada pokok pikiran ini, Petrus memberitahukan bahwa kesaksian mereka tidak saja mengenai kebangkitan, itu sendiri, tetapi juga kesaksian tentang Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan. Jika di tempat lain Petrus mau membangkitkan keprcayaan orang tentang kebangkitan, di sini ia terlebih dahulu memicu efek psikologis para pendengarnya. Ia terlebih dahulu membangunkan perasaan bersalah sehingga menggerakkan mereka kemudian untuk mencari keselamatan. Oleh sebab itu, Petrus mewartakan Yesus yang akan datang sebagai Mesias yang menjadi Hakim atas semua orang. Hakim yang memberi keadilan berdasarkan perbuatan yang telah diperbuat. Di hadapan-Nya semua manusia akan memperoleh keadilan. Mesias sebagai Hakim atas orang hidup dan mati.[5]
             Dalam bagian ini Petrus berbicara tentang tindakan soteriologis dan eskatologis Allah penyelamat. Yakni penyelamatan Allah yang terjadi dalam diri Yesus Kristus sebagai kepenuhan wahyu. Yesus telah menebus dunia dalam darah-Nya di atas kayu salib. Tindakan penyelamatan tersebut terus berlangsung dalam sejarah umat manusia dan hingga pada kepenuhannya nanti pada kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Di mana semua manusia akan diadili seturut keadailan Allah.
        Konsep Yesus sebagai hakim dijelaskan oleh Lukas dengan menggunakan term horizon. Dalam bagian Injil Lukas terdapat term Yesus sebagai hakim, seperti Luk 9:26; 10:13-16, dll. Kehidupan dan kematian berhubungan dengan sifat keberadaan Tuhan secara penuh yang menjadi dasar hidup iman orang Kristen secara umum (Rm 14:9; 1Tes 5:9-10).
Ayat 43:Tentang Dialah semua nabi bersaksi, bahwa barangsiapa percaya kepada-Nya, ia akan mendapat pengampunan dosa oleh karena nama-Nya”. Tema tentang kepenuhan kesaksian seorang nabi merupakan tema sentral dalam Lukas  dan Kisah Rasul. Formulasi ini sangat mirip dengan Luk 22:12 dan Kis 2:23. Sebagian besar terjemahan menguraikan touto seperti yang dipakai dalam bagian sebelumnya. Terjemahan “semua nabi bersaksi untuk Dia” terjadi pengulangan sebanyak tiga kali mengenai Dia yang melampaui batas, dan mengambil touto secara netral, dan menunjuk pada anak kalimat yang mengikutinya “barangsiapa percaya kepada-Nya” – piesteues eis auton ditemukan dalam Lukas dan Kisah rasul. Dalam pewartaan Petrus tentang iman yang menyelamatkan ini, kita memperoleh kerangka pewartaan Paulus tentang iman sebagai syarat mutlak bagi keselamtan seseorang.[6]
s
3.   Penutup
        Pokok teologis wejangan Petrus diambil dari Pernajijian lama; Allah tidak memandang bulu (Ul 10:17). Seperti dilakukan Paulus dalam Roma 2:11 dan Galatia 2:6, di sini Lukas menerapkan pernyataan tersebut bahwa Allah menerima baik orang Yahudi maupun orang yang bukan Yahudi yang tidak benar.
        Keselmatan Allah terjadi bagi semua orang dari golongan manapun, dengan syarat adalah iman. Iman membuta orang selamat. Iman akan Yesus Kristus Sang Mesias yang telah disalibkan dan dibangkitkan kembali oleh Allah. Kebangkitan itulah yang kini merupakan warta iman. Karena kebangkitan-Nya sebagai raja dan Hakim atas semua orang hidup dan mati keselamatan terjadi bagi semua orang.
       


[1] Raymond E. Brown (ed.), The New Jerome Biblical Commentary (Norwich: Flechter and jon Ltd., 1990), hlm. 682.
[2] Daniel Harington, The apostle Act, dalam Sacra Pagina (Minnesota: Collegeville, The Liturgical press, 1996), hlm. 191.
[3] Daniel Harington, The apostle…, hlm. 191.
[4] Raymond E. Brown (ed.), The New…, hlm. 683.
[5] Daniel Harington, The apostle…, hlm. 193-194.
[6] Daniel Harington, The apostle…, hlm. 194.

St. Perawan Maria

Maria Sebagai Teladan Iman Orang Kristiani
Bulan oktober ditetapkan oleh gereja sebagai bulan Rosario suci. Dimana seluruh komunitas beriman katolik diajak untuk mempersembahkan doa-doa bagi kepentingan universal, melalui perantaraan Maria ratu rosario untuk kepentingan dunia, keselamatan jiwa-jiwa dan keluhuran Allah.
Doa rosario adalah doa manusia bagi manusia. Melalui dao rosario, umat beriman menunjukkan semangat solidaritas bagi sesama dan kolegial orang-orang yang tertebus, yang memantulkan semangat dan maksud tujuan dari orang pertama yang tertebus yaitu Maria, bunda dan citra teladan Gereja. Sebagai doa universal yang sangat sederhana, rosario juga merupakan doa persatuan tubuh kristus bagi orang-orang yang meninggal maupun yang masih hidup sebagaimana sering diucapakan, 'doakanlah kami yang berdosa ini sekarang dan waktu kami mati'.
Maria suci bunda gereja melaui rosari sucinya mengajarkan arti hidup sebagai penziarahan yang memuncak pada Kristus Sang hidup kekal. Butiran manik-manik dan doa salam maria, merupakan lambang penziarahan ke tanah air surgawi, Yerusalem suci. Dalam penziarahan itu, seorang beriman senantiasa dituntut oleh kemurahan hati Maria dan bersama malaikat mengulangi 'salam Maria penuh rahmat Tuhan sertamu'.
Doa rosario adalah doa sederhana. Kalimat yang diulang-ulang menunjukkan kesederhanaan hati Maria dihadapan Allah, dalam mengahadapi luka dalam oleh 'pedang tajam' sebagaimana dinubuatkan baginya oleh nabi Simeon. Semua ramalan itu mencapai kepenuhannya sejak peristiwa paskah di Yerusalem, Yesus menolak Maria di depan umum sebagai ibunya (tentunya pertama-tama bukan hubungan biologis tetapi hubungan eskatologis), hingga menyaksikan 'anak manusia' itu tergantung di kayu salib. Dalam penderitaan batin serta pergumulan iman inilah maria tetap setia dan reflektif serta tidak lepas dari porosnya yaitu Allah. 'Sesunggunhnya aku ini hamba Tuhan jadilah padaku menurut perkataan-Mu'.
Lewat doa rosario dan kalimat salam maria yang diulang-ulang itu, mengandung misteri penebusan, kata-kata malaikat kepada maria, membawa manusia kedalam misteri penebusan sekaligus menemukan jawabannya.

Konsiliarisme


KONSILIARISME
           
Konsiliarisme adalah suatu teori yang berkembang pada masa Skisma Barat (1378-1417), ketika gereja terpecah-pecah karena ada dua bahkan tiga paus. Teori ini mengatakan bahwa wibawa atau kekuasaan tertinggi ada pada konsili ekumenis, tidak tergantung pada paus. Teori ini dipraktekkan oleh beberapa kardinal dari Roma dan Avignon. Tahun 1409 para kardinal itu berkumpul di Pisa-Italia Utara, dan memecat kedua paus baik dari Roma maupun dari Avignon namun mereka tidak mau turun tahta kecuali paus dari Barat dan memilih Paus Alexander V yang juga anti paus. Keadaan Gereja semakin parah karena sekarang ada tiga paus dalam kurun waktu yang sama, dan masing-masing mengatur wilayahnya. Sementara konsili itu dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan undang-undang Gereja.
            Karena kekacauan itu, maka pada tahun 1414 hingg 1418, raja Sigmund dari German memanggil konsili yang diadakan di Constanz-Swiss. Maksud dari konsili ini adalah untuk menghentikan arus Skisma dan memperbarui Gereja. Paus-paus membawa banyak pengikut agar dapat menguasai konsili itu. Untuk menghindari bahaya ini dibuat suatu sistem pemungutan suara menurut bangsa (Jerman, Spanyol, Inggeris, Italia, dll). Dengan cara demikian ‘konsiliaris’ menentang bahaya ‘kurialis’ yaitu penyokong paus tertentu.
            Skisma Barat ini diselesikan dalam konklaf para kardinal  dengan memilih Paus Martinus V, yang ditetapkan dalam konsili tahun 1417 dan memberhentikan para paus sebelumnya. Dengan itu hanya ada satu paus sah yang memegang tahta Santo Petrus. Para kardinal menerapkan bahwa mereka menerima hk langsung dari Kristus maka baik umat maupun paus sekalipun harus takluk dan percaya terhadap keputusan mereka. Berkat Konsili para cardinal yang berlangsung selama kurang lebih Empat tahun maka berakhirlah Skisma Barat.

Bibliografi
1.      Enklaar, I.H. Sejarah Gereja, Jakarta; gunung Mulia, 1988.
2.      Laarhoven, Kleopas. Gereja Sepanjang Abad, Sibolga; Percetakan offset St. Paulus, 1982.
3.      O’Collins, Gerald dan Edward G. Farrugia. Kamus Teologi, Yogyakarta; kanisius, 1996.