Jumat, 06 Juni 2014

Mawar Terakhir Untuk Santo



Mawar Terakhir Untuk Santo
            Jarum jam sudah menunjukkan pukul 01.15 waktu Indonesia bagian Barat. Mata sayup lelahku belum sudi terpejam. Di tengah malam yang dingin ini sejumlah anak manusia masih terjaga. Perbincangan ringan yang sesekali ditemani tawa lara mengganggu istirahatku. Apa boleh buat. Inilah situasi kami saat ini. Kami harus tidur ramai-ramai di bawah lindungan satu tenda berlogo unicef. Di dalam tenda itu kami meletakkan keselamatan kami pasca amukan ibu bumi.
            Empat hari sudah sejak tanggal 28 Maret 2005, kami dihantui rasa takut mendalam. Gempa bumi tanpa ampun melululantahkan bumi tempat kami berpijak dan meletakkan hari esok. Jauh di Pulau Nias sana deraian air mata menganak sungai mengiringi kepergian cita dan cinta kami. Entah kenapa tanpa belaskasihan ibu bumi merenggut cita, mimpi dan harapan kami akan hari esok yang menjanjikan. Tak punya hati, ia memisahkan anak dari orangtua dan orangtua dari anak-anaknya untuk waktu tak terhingga. Bumi yang biasanya tersenyum ramah, kini diselimuti keganasan duka. Bersamanya, seluruh ada kami lululantahterserak puing-puing rumah sederhana kami. Keheningan malam itu terpecah oleh sahut-sahutan lengkingan dari mulut anak-anak bumi yang rapuh. Dimana-mana terdengar teriakan minta tolong tidak karuan. Dari setiap pintu rumah teriakan nama Tuhan berhamburan; antara tuduhan dan permohonan; antara harapan dan ketakutan.Perisitwa malam itu meramu sebuah melodi duka yang akan dikenang selamanya.
***
Mata yang tidak mau terpecam ini menyiksaku. Entah kenapa naluri memaksaku mencari kesibukan. Satu-satunya yang bisa kulakukan saat itu adalah menonton televisi. Sejenak kutatap puing ruang tengah rumah kami. Di sana terpaku bisu televisi sederhana. Setelah mengumpulkan keberanian, saya mengajak beberapa sepupuku untuk menonton berita. Sebenarnya kami haus akan informasi terbaru tentang pulau kami. Sejak peristiswa gempa hingga kini beredar banyak isu, kebanyakan memperpuruk keadaan kami. Mulut-mulut sesumbar mengatakan kalau dalam beberapa hari lagi pulau kami akan tenggelam. Benar saja, masyarakat kami yang umumnya tidak berpendidikan, tidak bisa menggunakan otaknya dengan baik, berduyun-duyun meninggalkan pulau indah yang sedang merana ini. Hendak kemanakah mereka? Semoga Tuhan memberkati mereka...
***
Saya kaget bukan main. Serasa gempa yang melebihi 8,7 ritcher mengguncangku ketika menyaksikan berita di layar televisi yang sedang kesepian ini. Di tengah malam ini, tidak ada sama sekali info tentang pulau kami. Kali ini tidak ada cerita akhir sejarah hidup pulau kami. Tapi, akhir sejarah hidup seseorang yang menggetarkan jiwaku. Dari negeri nun jauh, dan walaupun jauh namun akrab bagiku, dikabarkan seorang tua yang sedang berjuang ke titik akhir sejarah kehidupan. Dengan cermat kudengar reporter yang seolah terhanyut dalam kesedihan. Wajahnya cemas mengabarkan bahwa pangeran kudus Gereja sedang melalui titik-titik terkahir kehidupan. Sejurus kemudian, di layar televisi tampil foto wajah sosok tua itu. Wajahnya anggun. Mulia. Teduh dan kudus. Jiwaku getar ketika kusadari mengenal sosok itu... Dialah Paus yang kukagumi seumur hidupku; Paus Yohanes Paulus II.
***
Tak bisa kututupi kesedihan yang menyelimuti hatiku. Dia yang membuatku bangga mempertahankan iman kekatolikanku di tengah keluarga saudara ibuku tempatku menumpang kala nadi cita masih berdenyut. Kalut dan sedih menyesakkan dadaku. Rasa takut kehilangan menguasai batinku. Ternyata sepupu-sepupuku pun mengenal sosok itu. Di wajah mereka kulihat kekaguman bercampur kesedihan. Yah, berita duka ini seolah melengkapi derita dan air mata kami. Selama ini kami merasakan dia yang kini melawan maut itu merangkul kami dalam doa-doanya. Tidak heran jika aku merasa dia sangat dekat dalam hidupku, hidup kami, hidup semua manusia di muka bumi rapuh ini. Dan, itulah yang kini ditampilkan lautan manusia yang mendongak ke jendela apartemen pribadi sang paus. Berharap mukjizat terjadi, ia tampil gagah lagi di sana. Memberi harapan, berbagi salam dan cinta bagi dunia seperti sediakala. Rasanya aku bersama mereka saat ini. Iman dan cinta menyatukan kami. Dalam satu harapan, satu kasih dan satu doa berderai air mata bertelut di hadapan Tuhan sang gembala yang kini mengayuhkan perahu abadinya di tengah sungai sejarah kehidupan.
***
Keheningan diselimuti udara dingin seolah berbicara tentang suasana hati kami. Tanpa sepatah katapun, satu persatu berlalu dari hadapan televisi. Anak-anak manusia itu membaringkan diri dalam dekapan angin malam. Saat ini keheningan adalah satu-satunya bahasa sempurna. Sementara sepupu-sepupuku membaringkan diri dalam tenda unicef, saya memilih masuk kamar.
Sejak tanggal 28 Maret tak satupun di natara kami yang berani masuk kamar. Susunan-susunan batu bata rumah ini laksana monster lapar yang siap menelan kami hidup-hidup kapan saja ia mau. Tapi, malam ini berbeda. Tak ada rasa takutku. Kukebaskan debu-debu di atas ranjangku. Kuraih Alkitab dari meja belajarku dan rosario suci yang sehari-hari menemaniku. Aku diam sejenak. Kuingat lagi wajah yang tercinta itu. Seolah menyatu dalam cinta, kumenengadah ke di bawah kaki BundaMaria seraya bermohon:
Salam Maria penuh rahmat Tuhan sertamu.
Terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus.
Santa Maria Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini,
terutama putera terkasihmu, Paus Yohanes Paulus II
sekarang dan waktu kami mati. Amin.
Yah, saya ingin melihat wajah itu lebih lama lagi...
Tuhan, saya bersyukur telah Engkau perkenankan mengenal hambaMu, Yohanes Paulus II. Hidupnya seutuhnya dibaktikan pada-Mu. Ia telah memikul salibnya di dunia ini melalui derita dan air mata. Dengan itu pula ia telah membantu kami untuk lebih mengenal dan mencintai Engkau. Kini, palingkanlah wajahmu padanya. Berilah dia kesembuhan. Saya ingin lebih lama lagi melihat wajah-Mu dalam wajahnya. Namun, jadilah kehendak-Mu. Amin.
Selama berdoa kurasakan embun-embun jiwa mengaliri pipi pucatku. Kututup doaku dengan tanda salib kemudian menuju tenda yang sesak untuk bergabung dalam dekapan angin malam. Apa yang akan terjadi? Harapan, kecemasan dan penasaran menemani tidurku terlebur menjadi mimpi, mungkin mimpi buruk...
Benar saja. Disaat semua anak manusia menyambut Hari Minggu dengan gembira. Saya menyambutnya dengan perkabungan. Akhirnya sejarah memiliki kuasanya sendiri. Di depan televisi yang sama, yang terselimuti debu-debu bekas reruntuhan rumah ini,  kudengar sosok tua yang kukagumi itu telah berhasil mendayuh perahunya ke labuhan Yerusalem surgawi. Yohanes paulus II yang kukagumi kini telah tiada!Sesak didada seketika menyulitkan pernapasanku. Kedua kakiku serasa tak berdaya menopang badanku yang susut beberapa hari ini karena ketakutan akan ancaman gempa-gempa susulan yang datang sepuluh kali lebih setiap hari. Tak ada yang merengkuhku. Tak ada yang menopang pundakku, apalagi mengusapi air mataku. Aku sendirian. Menangis dalam diam. “Selamat jalan bapa suci. Saya mencintaimu. Engkau akan tetap hidup dalam hatiku hingga aku melebur dalam keabadian sejarah. Doakan aku, doakan kami yang sedang merana ini. Bawalah bersamamu duka dan harapan kami. Selamat jalan bapa suci, terima kasih”. Ucapku lirih dalam hati. Aku tak bisa membendung kesedihan ini. Aku ingin melihat sosok tua itu lagi dilayar televisi. Tapi, terjadilah kehendak Allah. Aku tahu, Allah tidak meninggalkannya, sedetikpun. Allah telah memilih yang terbaik baginya. Pun Bunda Maria telah mengusapi air mata derita dan meringankan lelah salibnya.
***
Setelah membersihkan diri, kupakai pakaian hari mingguku. Kudayuh sepeda tuaku menuju gereja stasi kecil. Dalam diam berbalut duka kubiarkan diri di bawah hembusan angin samudera. Aku menuju gereja yang jarang kukunjungi. Maklum, aku hanya penumpang di desa ini. Dan, meskipun sudah satu tahun lebih di sini, aku belum sungguh-sungguh bisa beradaptasi. Kupuaskan paru-paruku yang terbebani duka dimasuki udara lautan samudera. Hingga tiba di gereja sederhana ini. Laksana duta berita kuberitakan bahwa Bapa Suci telah tiada. Sayang sekali, masih banyak yang tidak mengenal orang yang kucintai ini. Dengan tenang kujelaskan: “bapak-ibu, tadi pagi Santo Bapa Yohanes Paulus II telah dipanggil Allah. Jika berkenan, ibadat sabda hari ini kita khususkan untuk beliau.” Setelah menyebut Santo Bapa barulah mereka mengerti siapa yang kumaksud. Maklum, kami mengenal paus sebagai santo bapa. Umat di tempat kami umumnya mengenal paus sebagai manusia pilihan Allah dan tidak bercela. Ia adalah orang kudus. Makanya dia disebut santo bapa. Oh ya, jangankan paus, melihat pastor saja kami seperti berjumpa malaikat. Yayaya, di tempat kami jarang ada pastor. Pastor sangat sedikit sehingga untuk merayakan Ekaristi sajapun kami harus menunggu satu tahun. Bayangkan, untuk orang sebesar Paus Yohanes Paulus II saja hanya ada perayaan ibadat sabda. Tak apa-apa, doa yang keluar dari hati akan didengarkan Tuhan. Begitu saya menghibur diri.
Manusia-manusia lemah itu kini tertunduk sedih. Beberapa di antaranya mengusapi air mata.Yah, itulah getaran cinta Santo Bapa. Cintanya menggugah dan mengubah hati. Cinta yang sama menguatkan kami di pelosok  Nias yang sedang merana karena gempa dan tsunami. Hari itu, ditandakanlah lonceng kematian seorang kudus. Hari itu dan hanya hari itu saja doa-doa dari jiwa yang tertunduk duka melambung tinggi di tahta Anak Domba untuk sang gembala.
Tuhan, kasihanilah hambaMu
Paus kami Yohanes Paulus II.
Santa Perawan Maria,
Sambutlah dia dalam istana Anak Domba.
Para malaikat Agung Allah,
Songsolah dia.
Para kudus Allah,
Sambutlah dia...
Tuhan, kasihanilah dia...
***
            Tanggal 2 April 2005 telah mencatat sejarahnya sendiri. Bersamanya seorang kudus menghadap Allah khalik dan bumi. Peristiwa sejarah malam itu terukir kuat dalam hati dan hidupku. Getaran cinta sang santo bapa makin kuat kurasakan. Paskah Kristus juga paskahnya. serasa dia masih hidup. Kenangannya abadi dan kekal karena ia kini lebih dekat padaku, pada penduduk pulau kami, pada semua umat manusia. Kini, aku menyadari lewat peristiwa malam itu, ia meneguhkanku; ‘jangan takut’... ayah, ‘jangan takut’ karena ia pergi untuk hidup abadi bersama Tuhan yang memilih dan memanggilnya. Santo Bapa Yohanes Paulus II, terima kasih. Saya mencintaimu...

Seminari Tinggi St. Petrus, 17 April 2014
Untuk Santo Yohanes Paulus II





Tidak ada komentar:

Posting Komentar