Mawar
Terakhir Untuk Santo
Jarum
jam sudah menunjukkan pukul 01.15 waktu Indonesia bagian Barat. Mata sayup
lelahku belum sudi terpejam. Di tengah malam yang dingin ini sejumlah anak
manusia masih terjaga. Perbincangan ringan yang sesekali ditemani tawa lara
mengganggu istirahatku. Apa boleh buat. Inilah situasi kami saat ini. Kami
harus tidur ramai-ramai di bawah lindungan satu tenda berlogo unicef. Di dalam
tenda itu kami meletakkan keselamatan kami pasca amukan ibu bumi.
Empat
hari sudah sejak tanggal 28 Maret 2005, kami dihantui rasa takut mendalam.
Gempa bumi tanpa ampun melululantahkan bumi tempat kami berpijak dan meletakkan
hari esok. Jauh di Pulau Nias sana deraian air mata menganak sungai mengiringi
kepergian cita dan cinta kami. Entah kenapa tanpa belaskasihan ibu bumi
merenggut cita, mimpi dan harapan kami akan hari esok yang menjanjikan. Tak punya
hati, ia memisahkan anak dari orangtua dan orangtua dari anak-anaknya untuk
waktu tak terhingga. Bumi yang biasanya tersenyum ramah, kini diselimuti keganasan
duka. Bersamanya, seluruh ada kami lululantahterserak puing-puing rumah
sederhana kami. Keheningan malam itu terpecah oleh sahut-sahutan lengkingan
dari mulut anak-anak bumi yang rapuh. Dimana-mana terdengar teriakan minta
tolong tidak karuan. Dari setiap pintu rumah teriakan nama Tuhan berhamburan;
antara tuduhan dan permohonan; antara harapan dan ketakutan.Perisitwa malam itu
meramu sebuah melodi duka yang akan dikenang selamanya.
***
Mata yang tidak mau terpecam ini menyiksaku. Entah
kenapa naluri memaksaku mencari kesibukan. Satu-satunya yang bisa kulakukan
saat itu adalah menonton televisi. Sejenak kutatap puing ruang tengah rumah
kami. Di sana terpaku bisu televisi sederhana. Setelah mengumpulkan keberanian,
saya mengajak beberapa sepupuku untuk menonton berita. Sebenarnya kami haus
akan informasi terbaru tentang pulau kami. Sejak peristiswa gempa hingga kini
beredar banyak isu, kebanyakan memperpuruk keadaan kami. Mulut-mulut sesumbar
mengatakan kalau dalam beberapa hari lagi pulau kami akan tenggelam. Benar
saja, masyarakat kami yang umumnya tidak berpendidikan, tidak bisa menggunakan
otaknya dengan baik, berduyun-duyun meninggalkan pulau indah yang sedang merana
ini. Hendak kemanakah mereka? Semoga Tuhan memberkati mereka...
***
Saya kaget bukan main. Serasa gempa yang melebihi
8,7 ritcher mengguncangku ketika menyaksikan berita di layar televisi yang
sedang kesepian ini. Di tengah malam ini, tidak ada sama sekali info tentang
pulau kami. Kali ini tidak ada cerita akhir sejarah hidup pulau kami. Tapi,
akhir sejarah hidup seseorang yang menggetarkan jiwaku. Dari negeri nun jauh,
dan walaupun jauh namun akrab bagiku, dikabarkan seorang tua yang sedang
berjuang ke titik akhir sejarah kehidupan. Dengan cermat kudengar reporter yang
seolah terhanyut dalam kesedihan. Wajahnya cemas mengabarkan bahwa pangeran
kudus Gereja sedang melalui titik-titik terkahir kehidupan. Sejurus kemudian, di
layar televisi tampil foto wajah sosok tua itu. Wajahnya anggun. Mulia. Teduh
dan kudus. Jiwaku getar ketika kusadari mengenal sosok itu... Dialah Paus yang
kukagumi seumur hidupku; Paus Yohanes Paulus II.
***
Tak bisa kututupi kesedihan yang menyelimuti hatiku.
Dia yang membuatku bangga mempertahankan iman kekatolikanku di tengah keluarga
saudara ibuku tempatku menumpang kala nadi cita masih berdenyut. Kalut dan
sedih menyesakkan dadaku. Rasa takut kehilangan menguasai batinku. Ternyata
sepupu-sepupuku pun mengenal sosok itu. Di wajah mereka kulihat kekaguman
bercampur kesedihan. Yah, berita duka ini seolah melengkapi derita dan air mata
kami. Selama ini kami merasakan dia yang kini melawan maut itu merangkul kami
dalam doa-doanya. Tidak heran jika aku merasa dia sangat dekat dalam hidupku,
hidup kami, hidup semua manusia di muka bumi rapuh ini. Dan, itulah yang kini
ditampilkan lautan manusia yang mendongak ke jendela apartemen pribadi sang
paus. Berharap mukjizat terjadi, ia tampil gagah lagi di sana. Memberi harapan,
berbagi salam dan cinta bagi dunia seperti sediakala. Rasanya aku bersama
mereka saat ini. Iman dan cinta menyatukan kami. Dalam satu harapan, satu kasih
dan satu doa berderai air mata bertelut di hadapan Tuhan sang gembala yang kini
mengayuhkan perahu abadinya di tengah sungai sejarah kehidupan.
***
Keheningan diselimuti udara dingin seolah berbicara
tentang suasana hati kami. Tanpa sepatah katapun, satu persatu berlalu dari
hadapan televisi. Anak-anak manusia itu membaringkan diri dalam dekapan angin
malam. Saat ini keheningan adalah satu-satunya bahasa sempurna. Sementara
sepupu-sepupuku membaringkan diri dalam tenda unicef, saya memilih masuk kamar.
Sejak tanggal 28 Maret tak satupun di natara kami
yang berani masuk kamar. Susunan-susunan batu bata rumah ini laksana monster
lapar yang siap menelan kami hidup-hidup kapan saja ia mau. Tapi, malam ini
berbeda. Tak ada rasa takutku. Kukebaskan debu-debu di atas ranjangku. Kuraih
Alkitab dari meja belajarku dan rosario suci yang sehari-hari menemaniku. Aku
diam sejenak. Kuingat lagi wajah yang tercinta itu. Seolah menyatu dalam cinta,
kumenengadah ke di bawah kaki BundaMaria seraya bermohon:
Salam Maria
penuh rahmat Tuhan sertamu.
Terpujilah
engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu, Yesus.
Santa Maria
Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini,
sekarang dan
waktu kami mati. Amin.
Yah, saya ingin melihat wajah itu lebih lama lagi...
Tuhan, saya
bersyukur telah Engkau perkenankan mengenal hambaMu, Yohanes Paulus II.
Hidupnya seutuhnya dibaktikan pada-Mu. Ia telah memikul salibnya di dunia ini
melalui derita dan air mata. Dengan itu pula ia telah membantu kami untuk lebih
mengenal dan mencintai Engkau. Kini, palingkanlah wajahmu padanya. Berilah dia
kesembuhan. Saya ingin lebih lama lagi melihat wajah-Mu dalam wajahnya. Namun,
jadilah kehendak-Mu. Amin.
Selama berdoa kurasakan embun-embun jiwa mengaliri
pipi pucatku. Kututup doaku dengan tanda salib kemudian menuju tenda yang sesak
untuk bergabung dalam dekapan angin malam. Apa yang akan terjadi? Harapan,
kecemasan dan penasaran menemani tidurku terlebur menjadi mimpi, mungkin mimpi
buruk...
Benar saja. Disaat semua anak manusia menyambut Hari
Minggu dengan gembira. Saya menyambutnya dengan perkabungan. Akhirnya sejarah
memiliki kuasanya sendiri. Di depan televisi yang sama, yang terselimuti
debu-debu bekas reruntuhan rumah ini, kudengar sosok tua yang kukagumi itu telah
berhasil mendayuh perahunya ke labuhan Yerusalem surgawi. Yohanes paulus II
yang kukagumi kini telah tiada!Sesak didada seketika menyulitkan pernapasanku.
Kedua kakiku serasa tak berdaya menopang badanku yang susut beberapa hari ini
karena ketakutan akan ancaman gempa-gempa susulan yang datang sepuluh kali
lebih setiap hari. Tak ada yang merengkuhku. Tak ada yang menopang pundakku,
apalagi mengusapi air mataku. Aku sendirian. Menangis dalam diam. “Selamat
jalan bapa suci. Saya mencintaimu. Engkau akan tetap hidup dalam hatiku hingga
aku melebur dalam keabadian sejarah. Doakan aku, doakan kami yang sedang merana
ini. Bawalah bersamamu duka dan harapan kami. Selamat jalan bapa suci, terima
kasih”. Ucapku lirih dalam hati. Aku tak bisa membendung kesedihan ini. Aku
ingin melihat sosok tua itu lagi dilayar televisi. Tapi, terjadilah kehendak
Allah. Aku tahu, Allah tidak meninggalkannya, sedetikpun. Allah telah memilih
yang terbaik baginya. Pun Bunda Maria telah mengusapi air mata derita dan
meringankan lelah salibnya.
***
Setelah membersihkan diri, kupakai pakaian hari
mingguku. Kudayuh sepeda tuaku menuju gereja stasi kecil. Dalam diam berbalut
duka kubiarkan diri di bawah hembusan angin samudera. Aku menuju gereja yang
jarang kukunjungi. Maklum, aku hanya penumpang di desa ini. Dan, meskipun sudah
satu tahun lebih di sini, aku belum sungguh-sungguh bisa beradaptasi. Kupuaskan
paru-paruku yang terbebani duka dimasuki udara lautan samudera. Hingga tiba di
gereja sederhana ini. Laksana duta berita kuberitakan bahwa Bapa Suci telah
tiada. Sayang sekali, masih banyak yang tidak mengenal orang yang kucintai ini.
Dengan tenang kujelaskan: “bapak-ibu, tadi pagi Santo Bapa Yohanes Paulus II
telah dipanggil Allah. Jika berkenan, ibadat sabda hari ini kita khususkan
untuk beliau.” Setelah menyebut Santo Bapa barulah mereka mengerti siapa yang
kumaksud. Maklum, kami mengenal paus sebagai santo bapa. Umat di tempat kami
umumnya mengenal paus sebagai manusia pilihan Allah dan tidak bercela. Ia
adalah orang kudus. Makanya dia disebut santo bapa. Oh ya, jangankan paus,
melihat pastor saja kami seperti berjumpa malaikat. Yayaya, di tempat kami
jarang ada pastor. Pastor sangat sedikit sehingga untuk merayakan Ekaristi
sajapun kami harus menunggu satu tahun. Bayangkan, untuk orang sebesar Paus
Yohanes Paulus II saja hanya ada perayaan ibadat sabda. Tak apa-apa, doa yang
keluar dari hati akan didengarkan Tuhan. Begitu saya menghibur diri.
Manusia-manusia lemah itu kini tertunduk sedih.
Beberapa di antaranya mengusapi air mata.Yah, itulah getaran cinta Santo Bapa.
Cintanya menggugah dan mengubah hati. Cinta yang sama menguatkan kami di pelosok
Nias yang sedang merana karena gempa dan
tsunami. Hari itu, ditandakanlah lonceng kematian seorang kudus. Hari itu dan hanya
hari itu saja doa-doa dari jiwa yang tertunduk duka melambung tinggi di tahta
Anak Domba untuk sang gembala.
Tuhan,
kasihanilah hambaMu
Paus kami
Yohanes Paulus II.
Santa Perawan
Maria,
Sambutlah dia
dalam istana Anak Domba.
Para malaikat
Agung Allah,
Songsolah dia.
Para kudus
Allah,
Sambutlah dia...
Tuhan,
kasihanilah dia...
***
Tanggal
2 April 2005 telah mencatat sejarahnya sendiri. Bersamanya seorang kudus menghadap
Allah khalik dan bumi. Peristiwa sejarah malam itu terukir kuat dalam hati dan
hidupku. Getaran cinta sang santo bapa makin kuat kurasakan. Paskah Kristus
juga paskahnya. serasa dia masih hidup. Kenangannya abadi dan kekal karena ia
kini lebih dekat padaku, pada penduduk pulau kami, pada semua umat manusia.
Kini, aku menyadari lewat peristiwa malam itu, ia meneguhkanku; ‘jangan
takut’... ayah, ‘jangan takut’ karena ia pergi untuk hidup abadi bersama Tuhan
yang memilih dan memanggilnya. Santo Bapa Yohanes Paulus II, terima kasih. Saya
mencintaimu...
Seminari Tinggi St. Petrus, 17 April
2014
Untuk Santo Yohanes Paulus II
Tidak ada komentar:
Posting Komentar