Jumat, 30 Maret 2012


KELUARGA: MISIONARIS di ERA GLOBALISASI

“Misi berarti meninggalkan, pergi, melepas segala Sesuatu, keluar dari diri sendiri
memecah dinding keegoisan yang memenjarakan kita dalam ke-AKU-an ……
Di atas semua itu, misi berarti membuka diri bagi sesama
sebagai saudara dan saudari , menemukan mereka menjumpai mereka”
(Uskup Agung Helder Camara)

Fr. Alfonsius Laia

 Sepenggalan syair Uskup Helder ini memberi pemahaman baru bagi kegiatan misi. Misi berarti melepas diri dari penjara keegoisan, membuka diri bagi sesama bahkan bagi alam semesta.  Inilah makna misi pada masa modern ini, di mana kita melakukan ‘perjalanan’ melampaui batas-batas samudera luas. Sebuah perjalanan batin (rohaniah) untuk dan bagi sesama dalam hiruk-pikuk dunia modern dewasa ini. Sebuah perjalanan batin yang digerakkan oleh sebuah realitas dunia dan manusia. Siapakah yang bisa bermisi? Semua umat beriman tanpa tekecuali terutama keluarga sebagai Gereja mini.

Sebuah Realitas
            Dalam suatu kegiatan evaluasi mengajar bagi para frater yang mengajar mata pelajaran agama Katolik di  sekolah-sekolah di Pematangsiantar, ditemukan fenomena baru yakni banyak siswa-siswi yang beragama Katolik yang kurang mengerti ajaran pokok ke-katolikk-an bahkan menyebut doa-doa pokok saja pun tidak tahu. Tentu tidak semua seperti itu. Mengapa terjadi hal itu? Siapa yang seharusnya bertanggungjawab atas pembinaan iman anak? Apakah ada efek globalisasi bagi pembinaan iman anak?
            Dunia selalu dalam perubahan. Zaman demi zaman berkembang dan selalu menawarkan hal-hal baru serta spektakuler. Sementara manusia berada dalam lingkaran perubahan tersebut. Mau tidak mau manusia harus menerima segala perubahan arus globalisasi yang nota bene ditandai dengan perkembangna Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang tidak mampu terbendung lagi seperti terciptanya alat-alat komunikasi, senjata pemusnah massal, dan lain-lain.  Mulai dari alat-alat eletronik hingga alat pemusnah  massal seperti nuklir yang baru-baru ini hangat dibicarakan di meja Perserikatan  Bangsa-Bangsa berkaitan dengan tindakan uji coba nuklir oleh Korea Utara (korut). Hal lain adalah lahirnya internet. Dalam sekejap saja kita mudah mengetahui segala hal yang sedang terjadi di seluruh seantero dunia. Bahkan hal-hal rohani sekalipun banyak di akses lewat internet. Masih banyak contoh yang dapat kita lihat dan bahkan kita nikmati sendiri. Semua serba baru dan canggih.
            Perkebangan IPTEK dewasa ini ibarat pedang bermata dua; satu sisi memberi sumbangan besar bagi pengembangan pengetahuan manusia namun, di sisi lain dia membentuk manusia-manusia berpola hidup baru; konsumerisme, serba instant dan kalau boleh saya katakan, ikut membentuk ‘manusia eletronik’ (bukan robot), di mana ada pendewaan bagi dunia eletronik.
            Realitas arus globalisasi ini mendorong setiap umat beriman untuk kembali melihat keutuhan diri sebagai ciptaan yang mempunyai hubungan intimitas dengan yang ilahi, merefleksikan kembali iman ke-Katolik-an kita. Panggilan inilah yang saya sebut sebagai misi di era globalisasi. Tak dapat disangkal bahwa banyak pemuda-pemudi Katolik, keluarga katolik dewasa ini mau tidak mau harus bersentuhan dengan hal-hal spektakuler itu. Berhadapan dengan hal itu, fungsi kontrol diri dalam kedewasaan dan keutuhan diri sebagai manusia yang berbudi sangat penting. Memilah-milah hal-hal mana yang kita butuhkan dan memang penting bagi perkembangan  diri dan memanusiakan dan hal-hal mana saja yang perlu dujauhi karena tidak memberi sumbangan apapun bagi proses pemanusiaan kemanusiaan kita.
            Kita pasti bertanya; Apa hubungan perkembangan arus globalisasi dengan iman anak? Bahaya apakah yang ditimbulkannya? Jelas bahwa arus globalisasi berlangsung dalam hubungannya dengan manusia. Baik sebagai produser maupun sebagai konsumen. Pada umumnya yang banyak menjadi korban adalah anak-anak. Jika kita perhatikan lebih separoh pengkonsumsi hasil IPTEK adalah anak-anak usia pelajar dan mahasiswa antara umur 10 tahun ke atas. Hampir semua model Hand Phone ada di tangan mereka, atau coba kita perhatikan ruang-ruang internet yang banyak dipadati oleh anak-anak. Apakah ini menjadi sebuah gaya hidup atau sekedar menikmati? Tergantung setiap pribadi.
Ketika itu telah menjadi gaya hidup yang terjadi adalah sikap pendewaan. Orang mulai bosan dengan hal-hal yang berbau doktrin atau rohani. Agama seperti menjadi sebuah benteng penghalang untuk menikmati hidup secara bebas-sebebas-bebasnya. Dampak ini sangat menonjol di dunia Eropa terutama Belanda. Dulu, Negara belanda dikenal dengan negara produser misionaris, sekarang coba kita lihat, banyak gedung gereja yang disulap menjadi hotel dan restaurant karena bangku-bangku gereja kosong.
Mau aktif atau tidak di gereja itu hak setiap insan. Akan tetapi, harus disadari bahwa ada suatu yang mengikat kita dengan Tuhan yang telah kita imani, kita terima sebagai penyelamat lewat pembabtisan. Ikatan inilah yang harus menjadi tanggungjawab setiap umat beriman terutama keluarga Katolik dalam mewartakan dan menumbuhkan imannya di tengah arus globalisasi dewasa ini demi dan untuk  " in majorem gloriam dei" (semua demi kemuliaan Tuhan).

Sebuah Panggilan
            manusia adalah makhluk yang terikat dengan ruang dan waktu. Mau tidak mau semua arus perubahan harus kita jalani tanpa sebuah penolakkan. Baik sebagai pribadi beriman maupun sebagai makluk sosial.
            Berhadapan dengan realitas itu, kita semua terpanggil untuk terus menyatakan relevansi iman ke-kristen-an kita. Kelaurga sebagai Gereja mini mendapat tugas sebagai ujung tombak dalam ‘peperangan’ dengan arus globalisasi yang sedang terjadi dan ikut membentuk pola gaya hidup dan pola pikir manusia. Keluarga sebagai Gereja mini, berkewajiban menjaga jiwa-jiwa melalui kesaksian hidup sehari-hari terutama bagi anak. Orang tua seharusnya menjadi figur ‘Sang Gembala’ yang mengenal dan dikenal oleh domba-domba-Nya (bdk Yoh 9:14).
            Panggilan ini yang kita sebut sebagai misionaris di era globalisasi. Banyak kasus anak kehilangan identitas diri akibat hiruk-pikuknya dunia. Tidak sedikit di antara mereka merasa minder ketika berhadapan dengan perubahan-perubahan baru yang melampaui kemampun mereka. Sehingga banyak lari dari realitas diri mereka sebagai pribadi yang istimewa dan unik. Salah satu penyebab adalah sikap permisif orang tua. Membiarkan anak mengembangkan diri dengan bebas tanpa kontrol yang baik dari orang tua. Banyak hari-hari terlewati antara orang tua dan anak tanpa komunikasi dalam hubungan intim sebagai keluarga. Maka, tidak heran jika timbul sikap apatis dan acuk tak acuh anak terhadap hal esensial dalam hidupnya yakni Tuhan. Tuhan dianggap hanya sebagai mitos saja yang tidak wajib dipercayai. Inilah pintu menuju kehancuran.
            Keluarga sebagai penangungjawab keselamatn jiwa-jiwa anak, harus mampu mengayomi, membimbing dan mengarahkan hidup mereka menjadi manusia yang utuh. Di sini keluarga berperan sebagai misionaris zaman modern. Kegiatan misi ini harus didasarkan pada sika tobat yang dalam atas realitas tanpa menolaknya tetapi melihat dan memilah-milah peran dan efek yang ditimbulkannya.
            Dan, untuk bisa mengujungi mereka, setiap anggota kelaurga pertama-tama harus mampu melepas diri dari ke-AKU-an, keegoisan, sikap acuh tak acuh untuk pergi menyeberangi lautan batin setiap insan, menemui mereka dan menghantar mereka melihat wajah Allah dalam realitas dunia modern dewasa ini. “ Apa yang Kuperintahkan kepadamu haruslah engkau pelihara, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apa bila engkau di rumah, apa bila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun” (Ul 6:6-7).
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar