KELUARGA:
MISIONARIS di ERA GLOBALISASI
“Misi berarti
meninggalkan, pergi, melepas segala Sesuatu, keluar
dari diri sendiri
memecah dinding keegoisan
yang memenjarakan kita dalam ke-AKU-an ……
Di atas semua itu,
misi berarti membuka diri bagi sesama
sebagai saudara dan
saudari , menemukan mereka menjumpai mereka”
(Uskup Agung Helder Camara)
Fr. Alfonsius Laia
Sepenggalan
syair Uskup Helder ini memberi pemahaman baru bagi kegiatan misi. Misi berarti melepas diri dari penjara
keegoisan, membuka diri bagi sesama bahkan bagi alam semesta. Inilah makna misi pada masa modern ini, di mana kita melakukan ‘perjalanan’ melampaui batas-batas samudera luas.
Sebuah perjalanan batin (rohaniah) untuk dan bagi sesama dalam hiruk-pikuk
dunia modern dewasa ini. Sebuah perjalanan batin yang digerakkan oleh sebuah
realitas dunia dan manusia. Siapakah yang bisa bermisi? Semua umat beriman
tanpa tekecuali terutama keluarga sebagai Gereja
mini.
Sebuah Realitas
Dalam
suatu kegiatan evaluasi mengajar bagi para frater yang mengajar mata pelajaran
agama Katolik di sekolah-sekolah di
Pematangsiantar, ditemukan fenomena baru yakni banyak siswa-siswi yang beragama
Katolik yang kurang mengerti ajaran pokok ke-katolikk-an bahkan menyebut
doa-doa pokok saja pun tidak tahu. Tentu tidak semua seperti itu. Mengapa
terjadi hal itu? Siapa yang seharusnya bertanggungjawab atas pembinaan iman
anak? Apakah ada efek globalisasi bagi pembinaan iman anak?
Dunia
selalu dalam perubahan. Zaman demi zaman berkembang dan selalu menawarkan
hal-hal baru serta spektakuler. Sementara manusia berada dalam lingkaran
perubahan tersebut. Mau tidak mau manusia harus menerima segala perubahan arus
globalisasi yang nota bene ditandai dengan perkembangna Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK) yang tidak mampu terbendung lagi seperti terciptanya
alat-alat komunikasi, senjata pemusnah massal, dan lain-lain. Mulai dari alat-alat eletronik hingga alat
pemusnah massal seperti nuklir yang
baru-baru ini hangat dibicarakan di meja Perserikatan Bangsa-Bangsa berkaitan dengan tindakan uji
coba nuklir oleh Korea Utara (korut). Hal lain adalah lahirnya internet. Dalam
sekejap saja kita mudah mengetahui segala hal yang sedang terjadi di seluruh
seantero dunia. Bahkan hal-hal rohani sekalipun banyak di akses lewat internet.
Masih banyak contoh yang dapat kita lihat dan bahkan kita nikmati sendiri.
Semua serba baru dan canggih.
Perkebangan
IPTEK dewasa ini ibarat pedang bermata dua; satu sisi memberi sumbangan besar
bagi pengembangan pengetahuan manusia namun, di sisi lain dia membentuk
manusia-manusia berpola hidup baru; konsumerisme, serba instant dan kalau boleh
saya katakan, ikut membentuk ‘manusia eletronik’ (bukan robot), di mana ada
pendewaan bagi dunia eletronik.
Realitas
arus globalisasi ini mendorong setiap umat beriman untuk kembali melihat
keutuhan diri sebagai ciptaan yang mempunyai hubungan intimitas dengan yang
ilahi, merefleksikan kembali iman ke-Katolik-an kita. Panggilan inilah yang
saya sebut sebagai misi di era globalisasi. Tak dapat disangkal bahwa banyak pemuda-pemudi
Katolik, keluarga katolik dewasa ini mau tidak mau harus bersentuhan dengan
hal-hal spektakuler itu. Berhadapan dengan hal itu, fungsi kontrol diri dalam
kedewasaan dan keutuhan diri sebagai manusia yang berbudi sangat penting. Memilah-milah
hal-hal mana yang kita butuhkan dan memang penting bagi perkembangan diri dan memanusiakan dan hal-hal mana saja
yang perlu dujauhi karena tidak memberi sumbangan apapun bagi proses
pemanusiaan kemanusiaan kita.
Kita
pasti bertanya; Apa hubungan perkembangan arus globalisasi dengan iman anak?
Bahaya apakah yang ditimbulkannya? Jelas bahwa arus globalisasi berlangsung
dalam hubungannya dengan manusia. Baik sebagai produser maupun sebagai
konsumen. Pada umumnya yang banyak menjadi korban adalah anak-anak. Jika kita
perhatikan lebih separoh pengkonsumsi hasil IPTEK adalah anak-anak usia pelajar
dan mahasiswa antara umur 10 tahun ke atas. Hampir semua model Hand Phone ada
di tangan mereka, atau coba kita perhatikan ruang-ruang internet yang banyak
dipadati oleh anak-anak. Apakah ini menjadi sebuah gaya hidup atau sekedar
menikmati? Tergantung setiap pribadi.
Ketika itu telah menjadi gaya hidup
yang terjadi adalah sikap pendewaan. Orang mulai bosan dengan hal-hal yang
berbau doktrin atau rohani. Agama seperti menjadi sebuah benteng penghalang
untuk menikmati hidup secara bebas-sebebas-bebasnya. Dampak ini sangat menonjol
di dunia Eropa terutama Belanda. Dulu, Negara belanda dikenal dengan negara produser
misionaris, sekarang coba kita lihat, banyak gedung gereja yang disulap menjadi
hotel dan restaurant karena bangku-bangku gereja kosong.
Mau aktif atau tidak di gereja
itu hak setiap insan. Akan tetapi, harus disadari bahwa ada suatu yang mengikat
kita dengan Tuhan yang telah kita imani, kita terima sebagai penyelamat lewat
pembabtisan. Ikatan inilah yang harus menjadi tanggungjawab setiap umat beriman
terutama keluarga Katolik dalam mewartakan dan menumbuhkan imannya di tengah
arus globalisasi dewasa ini demi dan untuk " in majorem gloriam dei"
(semua demi kemuliaan Tuhan).
Sebuah Panggilan
manusia
adalah makhluk yang terikat dengan ruang dan waktu. Mau tidak mau semua arus
perubahan harus kita jalani tanpa sebuah penolakkan. Baik sebagai pribadi
beriman maupun sebagai makluk sosial.
Berhadapan
dengan realitas itu, kita
semua terpanggil untuk terus menyatakan relevansi iman ke-kristen-an kita. Kelaurga
sebagai Gereja mini mendapat tugas
sebagai ujung tombak dalam ‘peperangan’ dengan arus globalisasi yang sedang
terjadi dan ikut membentuk pola gaya hidup dan pola pikir manusia. Keluarga sebagai
Gereja mini, berkewajiban menjaga jiwa-jiwa melalui kesaksian hidup sehari-hari
terutama bagi anak. Orang tua seharusnya menjadi figur ‘Sang Gembala’ yang
mengenal dan dikenal oleh domba-domba-Nya (bdk Yoh 9:14).
Panggilan
ini yang kita sebut sebagai misionaris di era globalisasi. Banyak kasus anak
kehilangan identitas diri akibat hiruk-pikuknya dunia. Tidak sedikit di antara mereka merasa minder ketika berhadapan
dengan perubahan-perubahan baru yang melampaui kemampun mereka. Sehingga banyak
lari dari realitas diri mereka sebagai pribadi yang istimewa dan unik. Salah
satu penyebab adalah sikap permisif orang tua. Membiarkan anak mengembangkan
diri dengan bebas tanpa kontrol yang baik dari orang tua. Banyak hari-hari
terlewati antara orang tua dan anak tanpa komunikasi dalam hubungan intim
sebagai keluarga. Maka, tidak heran jika timbul sikap apatis dan acuk tak acuh
anak terhadap hal esensial dalam hidupnya yakni Tuhan. Tuhan dianggap hanya
sebagai mitos saja yang tidak wajib dipercayai. Inilah pintu menuju kehancuran.
Keluarga
sebagai penangungjawab keselamatn jiwa-jiwa anak, harus mampu mengayomi,
membimbing dan mengarahkan hidup mereka menjadi manusia yang utuh. Di sini
keluarga berperan sebagai misionaris zaman modern. Kegiatan misi ini harus
didasarkan pada sika tobat yang dalam atas realitas tanpa menolaknya tetapi
melihat dan memilah-milah peran dan efek yang ditimbulkannya.
Dan,
untuk bisa mengujungi mereka, setiap anggota kelaurga pertama-tama harus mampu
melepas diri dari ke-AKU-an, keegoisan, sikap acuh tak acuh untuk pergi
menyeberangi lautan batin setiap insan, menemui mereka dan menghantar mereka
melihat wajah Allah dalam realitas dunia modern dewasa ini. “ Apa yang Kuperintahkan kepadamu haruslah
engkau pelihara, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada
anak-anakmu dan membicarakannya apa bila engkau di rumah, apa bila engkau
sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun”
(Ul 6:6-7).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar