Senin, 05 Maret 2012

Pesan dari Cile

PESAN DARI CILE

Alfonsius P. La’ia

Bebarapa minggu lalu, dunia kita sempat dihebohkan atas drama penyelamatan 33 penambang Cile dari kedalaman 700 meter. Sungguh pengalaman yang luar biasa terutama bagi para penambang yang terjebak dan berhasil diselamatkan, namun bukan saja mereka, presiden Sebastian Pinera pun mengalami perasaan dilema karena harus memutuskan apakah ke 33 penambang itu harus diselamatkan dengan biaya dan risiko yang tidak kecil atau harus mengorbankan nilai hakiki seorang manusia yang berhak untuk hidup dan untuk diselamatkan. Optimisme dan penghargaan yang tinggi atas nilai-nilai kemanusiaan, inilah yang menjadi senjata utama mengapa ke 33 penambang itu bertahan hidup selama 69 di kedalaman 700 m dan akhirnya diselamatkan berkat kebijaksaan sang gembala mereka yang setia dalam keadaan dan situasi apapun. Alhasil, tanpa di komandoi dunia meneteskan air mata haru, betapa tidak? Sebelumya dunia bisa mengatakan; Apa yang bisa diharapkan dari Cile? Sebuah negara kecil dengan keadaan krisis dalam segala bidang. Tetapi setelah drama penyelamatan itu dunia dibuat gagap dan hanya mampu berkomentar; ‘luar biasa’.

Peristiwa pasca penyelamatan 33 penambang Cile merupakan pesan kuat dan pasti bagi dunia bahwa; popularitas sebuah negara tidak diukur dari seberapa negara tersebut kuat dalam segala bidang, tetapi lemah dalam moralitas dan peghargaan terhadap nilai-nilai hakiki kemanusiaan. Presiden Sebastian Pinera, 33 penambang dan seluruh masyarakat Cile berseru dengan nyaring bagi dunia bahwa dasar kekokohan sebuah institusi kenegaraan adalah demokratis, keadilan, cinta akan damai dan terutama cinta akan manusia. Manusia harus menjadi alasan dan ukuran bagi kebijakan-kebijakan pemerintah. Sebuah negara seyogianya ada untuk warganya, bukan warga ada untuk negara. Di tempat lain dapat dikatakan bahwa sebuah pemerintahan ada karena ada masyarakat yang membutuhkan, bukan masyarakat ada karena pemerintah membutuhkan. Konsekuensinya adalah manusia terutama kemanusiaannya menjadi tolok ukur yang pertama dan terutama. Hal inilah yang dilakukan Sebastian Pinera seorang gembala yang baik. Baginya nilai material tidak sebanding dan tidak akan pernah menggantikan nilai luhur seorang manusia.

Apa yang bisa dikatakan dengan negeri pertiwi yang amat kita cintai ini? Pertama, jangan pernah membandingkan kebijaksanaan Sebastian Pinera dengan Susilo Bambang Yudhoyono yang hanya bisa menetaskan air mata buaya karena terpojok oleh desakan dari wong cilik yang menilai kebijakan dan pemerintahannya tidak memberi efek yang baik bagi masyarakat Indonesia. Jangan pula membandingkan Sebastian Pinera dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat kita yang makin lama makin tidak bermoral itu. DPR yang tidak jauh beda dengan anak Taman Kanak-kanak seperti pernah dituturkan Gusdur mantan presiden kita, almarhum. Jangankan setia pada kawanan dombanya seperti presiden Cile, bersimpatik saja pun atas derita dan jeritan hati korban gempa dan tsunami di Mentawai tidak! Marzuki Ali jelasnya yang berkomentar tentang para korban di Mentawai; “itu kan sudah konsekuensi orang yang tinggal di pulau”. Siapa yang tidak tinggal pulau? Apa artinya Nusantara? Indonesia negara khatulistiwa? Indonesia negara beribu pulau? Kapan Marzuki Ali akan membangun pemukiman di planet baru bagi warga negara Indonesia yang dihantam bertubi-tubi bencana alam ini, mulai dari darat, air hingga udara? Marzuki Ali harus menjawab pertanyaan ini: Mengapa Anda berani menjadi anggota DPR, tidak takutkah Anda jika gedung DPR roboh dan merenggut nyawa Anda? Sayang para pemimpin kita sering bertindak bodoh, tidak profesional, tidak bijak!!! Dan, semua anggota DPR yang ‘berjalan-jalan’ ke Yunani pun harus mejawab pertanyaan ini; Apa yang aku bawa dari Yunani untuk korban bencana di Mentawai, Yogyakarta dan Wasior? Jangan, jangan, Anda hanya membawa bingkisan penderitaan. Jelas!!! Mari kita berhitung. Berapa ongkos yang Anda habiskan untuk membeli tiket ke Yunani, biaya hotel, dll? Jika kemanusiaan diprioritaskan dengan mengalokasikan uang negara yang sekian banyak itu untuk meringankan penderitaan saudara-saudara kita di berbagai tempat bencana, akan sangat bernilai. Kendatipun saya yakin uang itu tidak berarti bagi mereka jika diukur dengan luka hati mereka yang dalam karena kehilangan sanak kelurga dan terhapusnya sebagian memori sejarah hidup mereka. Maka, tidak salah jika saya katakan bahwa studi banding ke Yunani adalah simbol ketidakbermoralan dan simbol kematian hati nurani para pejabat negara. Bukan saja anggota DPR yang tahunya hanya ngorok di bangku empuk, setelah itu nuntut ini-nuntut itu, tetapi semua pemimpin dimana saja berada yang suka mengobjekan masyarakat dan tidak menaruh perhatian yang besar pada ‘peri kemanusiaan yang adil dan beradab’ seperti diserukan dalam sila kedua, pancasila.

Inilah sederetan permasalahan yang sering mengusik pikiran kita dan yang sangat berpotensi pada krisis ke-Indonesia-an terutama generasi muda. Menyaksikan peradaban bangsa yang dikoyak-koyak oleh egoisme dan kepentingan politik kelompok tertentu, anak Indonesia malu menyebut dirinya orang Indonesia, yang berakibat pada pudarnya nasionalisme dan patriotisme terhadap bangsanya sendiri dan cenderung acuh tak acuh. Jiwa merah-putih tinggal bayang-bayang yang samar di tengah kegelapan peradaban bangsa.

Di tengah krisis peradaban ini, seorang Indonesia sejati harusnya mempunyai optmisme. Optimisme menjadi satu-satunya kunci yang akan membuka jalan menuju Indonesia Baru yang diidam-idamkan yakni Indonesia yang makmur, adil, damai sejahtera dan mencintai kemanusiaan seperti termaktub dalam ayat-ayat Pancasila. Kendati demikian, warga Indonesia tidak satu orang saja. Warga Indonesia berjumlah 200-an juta jiwa, artinya optimisme seorang tidak akan berarti jika jiwa-jiwa yang banyak ini tercerai berai. Perlu kesatuan hati, kekuatan dan ide untuk mencapai cita-cita yang sama itu. Namun, untuk mencapai cita-cita itu langkan awal yang perlu dilakukan adalah melihat Indonesia dari kacamata pluralisme.

Indonesia adalah bangsa yang plural. Dalam berbagai aspek kehidupan, pluralitas telah menjadi jiwa Indonesia. Realitas pluralisme ini telah membawa Indonesia pada berbagai pengalaman yang akan mampu meneguhkan langkah peziarahannya. Pluralitas Indonesia pula sering menjadi akar sentimental berbagai masalah sosial. Maka, menurut hemat saya yang perlu dilakukan oleh setiap orang Indonesia yang sadar akan kebangsaannya adalah penghargaan atas martabat luhur manusia. Setiap manusia dipandang dari keadaan kodratnya sebagai makhluk yang mulia di mata Allah dan dilindungi oleh hukum. Di sana termuat penghargaan individualitas dan atau keunikan setiap orang. Jangan melihat orang pertama-tama karena kelompoknya, sebab itu akan membawa pada konflik SARA. Perlu membangun dialog dari ke hati melalui internalisasi humanitas. Konsekuensi logis adalah mengulang apa yang dikatakan Yesus; “Bukan manusia untuk Sabat, tetapi sabat untuk manusia”. Artinya, keberadaan suatu hukum harus melandasi kepentingan masyarakat untuk mencapai kemakmuran, adil, damai dan sejahtera. Hukum harus mampu membantu manusia dalam upaya pesrealisasian diri sejatinya sebagai makhluk berakhlak. Hukum yang baik adalah hukum yang membuka ruang selebar-lebarnya bagi pemerdekaan manusia. Saya percaya apabila nilai-nilai ini disadari dan dihidupi mulai sekarang Merah-Putih yang menyimbolkan jiwa Indonesia akan berkibar kembali dengan gagah perkasa di mata dunia.

Akhirnya, sebagai seorang Katolik, saya harus mengatakan; Pertama, studi banding kepemimpinan yang benar adalah pada pribadi Yesus bukan di Yunani (bagi pejabat yang berasal dari kalangan Katolik). Yesus satu-satunya figur pemimpin yang ideal dan tetap up to date pada zaman ini. Jika ingin menjadi pemimpin yang sejati belajarlah pada pribadi Yesus. Yesus adalah pemimpin sejati yang diidam-idamkan oleh manusia pada zaman-Nya terutama mereka yang malang dan tertindas. Sebagai seorang pemimpin, Ia tidak arogan, Ia sabar, peduli pada penderitaan orang, meringankan beban dan derita wong cilik, menangis bersama mereka yang menangis dan tertawa bersama mereka yang tertawa, melayani bukan untuk dilayani, menyelaraskan kehendak-Nya dengan kehendak Bapa di surga. Hal yang paling luar biasa adalah Ia rela mati demi umat-Nya demi bangsa-Nya. Kedua, studi banding yang benar adalah melihat, belajar sekaligus tercebur dalam realitas real Indonesia.

Dalam optimisme dan harapan akan masa depan yang cerah, kita menata hidup berbangsa kita sebagai wujud dari iman kita, sebab iman tanpa perbuatan adalah mati (bdk. Yak 2:14-17). Dan, hendaknya peristiwa pasca penyelamatan 33 penambang Cile dan keluarbiasaan Sebastian Pinera menjadi cambuk yang mendorong kita untuk mengaktualisasikan cinta kita akan bangsa ini. Kekuasaan adalah pelayanan dan pelayanan adalah cinta.!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar