Jumat, 30 Maret 2012

Ikonoklasme


MASALAH  IKONOKLASME DALAM GEREJA

Pengantar
            Kata ikonoklasme berasal dari kata dasar bahasa Yunani yaitu eikon yang berarti lukisan.[1] Arti lain dari ikon adalah gambar, kesamaan, representasi dari sesuatu; gambar atau tanda dari sesuatu yang menunjukkan atau mewakili sesuatu.[2] Dalam arti sempit, ikon sering dimengerti sebagai gambar-gambar suci yang dibuat pada papan (kayu) dengan teknik khusus untuk sebuah praktik otentik-kerohanian pelukisan ikon. Dalam arti yang luas, ikon sering dimengerti sebagai semua jenis lukisan suci, mosaik, dari emas atau perak yang dibuat dalam rangka kegiatan membantu peribadatan Gereja Timur.[3] Gereja Katolik Timur mempunyai kebiasaan menghormati tokoh-tokoh dalam bentuk gambar-gambar suci, lukisan-lukisan suci yang begitu populer dan sangat berkembang pesat.

Latar Belakang Munculnya Gerakan Ikonoklasme
Latar belakang munculnya ikonoklasme didasarkan atas kecemasan terjadinya penyalahgunaan pada tatanan peribadatan. Maksudnya dengan hadirnya ikon-ikon atau gambar-gambar tersebut dalam Gereja, dikuatirkan orang tidak menghormati apa yang dihadirkan oleh gambar melainkan berhenti pada gambar belaka. Jika demikian, maka peribadatan berubah menjadi penyembahan berhala.
Ikonoklasme adalah sebuah gerakan intern dalam Gereja Katolik Timur yang anti terhadap pemakaian gambar-gambar seni religius sekitar tahun 717 masehi hingga tahun 843 masehi. Gerakan ikonoklasme adakalanya dikaitkan dengan suatu paham yang mengacu pada gerakan sosio-religius. Tetapi secara teologis, kontroversi tentang gambar-gambar (seni) religius ini menyangkut konflik pandangan kristologis dari abad kelima hingga kedelapan karena ikonoklasme dikaitkan dengan monophsitisme yang berkembang di lingkungan kekaisaran sejak Konsili Khalsedon tahun 451. Salah satu pokok yang diperdebatkan saat itu adalah ” kedagingan Kristus”, bahkan sesudah peristiwa inkarnasi Kristus bukanlah subjek layaknya manusia biasa yang disarati dengan kelemahan.[4]
  • Aspek sosial dan ekonomi ikonoklasme.
Pada tahap pertama, para pembela hormat bakti terhadap ikon terdiri dari para rahib. Tahun-tahun terakhir masa pemerintahan kaisar Konstantinus V Capronimus (741-775), banyak di antara para rahib menjadi martir dan pengaku iman karena membela praktik devosional pada ikon. Kemenangan para devotan tahun 815 diinspirasikan dan digerakkan oleh Abbas Teodorus serta para rahib di Studiun Konstantinopel. Tidak ada keterangan bahwa para penentang devosi pada ikon telah bersikap antimonastik.
            Tahap kedua, kelompok devosional menarik perhatian sebagian besar penduduk periferi ibukota Bisantin. Mereka adalah pengrajin, kaum proletar di perkotaan, yang tetap melakukan bakti penghormatan terhadap gambar-gambar suci. Perihal devosi, doa-berdoa menjadi begitu subur di kalangan orang kecil dan kelas bawah.
  • Aspek doktriner ikonoklasme.
Kontroversi ikonoklasme pada dasarnya mengenai sasaran iman Kristen   dan sifat peribadatan Kristen baik secara pribadi maupun secara bersama. Sikap permusuhan ini tersebar ke Asia Kecil yang mungkin disuburkan oleh tantangan kaum Muslim yang tidak memberi tempat pada ”ikon” dalam tata peribadatan.

Berbagai Reaksi atas Ikonoklasme [5]
Berhadapan dengan gerakan ikonoklasme yang semakin marak, maka Kaisar Konstantinus V (Capronimus) mengundang sinode para uskup dan sebanyak 338 uskup yang hadir tanpa paus ataupun salah seorang Batrik Timur ( tahun 754). Sinode ini memutuskan semua bentuk penggunaan ikon dalam tata peribadatan Gereja. Kaisar Konstantinus V (Capronimus) melaksanakan intriknya dengan mengerahkan kekuatan senjata: membungkam, mengasingkan, menghukum mati beberapa orang yang gigih membela kultus terhadap gambar-gambar suci. Selain itu, dia juga menyita harta milik Gereja di Sicilia bahkan kemudian ia mencaplok Sicilia, Calabria, dan Illiria yang meliputi Semenanjung Balkan kecuali Tracia untuk menjadi yurisdiksi batrik Konstantinopel.
Kaisar Leo V Armeneus (pengganti Capronimus) lebih bertindak secara moderat. Ia tidak membekukan ketentuan-ketentuan para pendahulunya (tidak mengecam poliotik dan tidak menindak para pelanggar ketentuan sebelumnya). Para rahib yang diekskomunikasikan, diperbolehkan untuk kembali pada tempat sebelum mereka diasingkan. Irene tampil sebagai kaisar ketika ayahnya meninggal dunia. Irene kemudian mengadakan sinode untuk memulihkan kultus-kultus terhadap penggunaai ikon. Di tangan Irenelah bersama kekuatan para serdadunya mengadakan konsili ketuju di Nicea.
Naiknya Leo IV Armenous (813-820), Mikhel II Balbus (820-829) serta Teofilus (820-842) membangkitkan kembali gerakan pemusnahan ikon. Mereka memberlakukan kembali ketentuan sinode  tahun 754 bahkan terjadi pengejaran  dan penganiayaan selama kira-kira 30 tahun. Pada periode rentang waktu ini, berkembanglah teologi yang mengecam gambar-gambar untuk digunakan dalam peribadatan, tetapi teologi yang sama juga menolak menyamakan antara ikon dengan berhala.

Gereja Mendapat Pencerahan
Para bapak konsili berkumpul di bawah pimpinan utusan paus untuk menghapuskan keputusan-keputusan sinode tahun 754. Konsili memutuskan bahwa Gereja selayaknya dan seharusnya memberikan penghormatan kepada gambar-gambar Kristus, Bunda Maria, para malaikat, dan kepada para santo-santa karena penghormatan itu tidak berhenti pada gambar itu sendiri melainkan kepada mereka yang ditampilkan oleh gambar tersebut. Keputusan ini tetap dipertahankan oleh pengganti Irene yaitu: Niceforus I (802-811) dan Mikhel I Rangabe ( 811-813) selama kira-kira 13 tahun.
Munculnya Ratu Teodora (seperti halnya Irene), yang menjadi kaisar  untuk mendampingi  anaknya Mikhel III  yang merupakan titik awal sikap Gereja yang resmi terhadap kedudukan Gereja yang resmi terhadap ikon-ikon pada Gereja selanjutnya. Ratu Teodora menetapkan penghormatan terhadap ikon atau gambar-gambar suci, bahkan memegang teguh ajaran tentang kebaktian terhadap gambar-gambar suci melalui Sinode Konstantinopel (Maret 843). Hingga saat ini, penggunaan ikon atau gambar-gambar suci dalam peribadatan Gereja diterima sebagai sarana bantu dalam peribadatan dan sebagai sarana bantu untuk berjumpa dengan Allah. Gereja sangat dilarang untuk menyembah barang-barang rohani karena hanya  Tuhanlah yang pantas disembah.[6]
            Kebenaran ortodoksi ini tidak hanya bersifat afirmasi terhadap kebenaran, tetapi juga menciptakan perkembangan baru dalam kesenian suci, kultus relikui, dan liturgi. Perkembangan lain meliputi pengaruh para rahib yang berperanan besar dalam kehidupan Gereja Timur, menandaskan peranan para uskup dalam kesalehan populis dan posisi Gereja sedikit banyak konserfatif. Ada suatu perjuangan yang baru yaitu keberanian membela kebebasan Gereja dari urusan politik negara.

Penutup
            Gereja melewati perjalanan hidupnya dengan salah satu tantangan dari  berbagai bidaah, yaitu ikonoklasme.Golongan yang tidak setuju akan pemakaian ikon dalam peribadatan mengekskomunikasikan golongan yang tetap mempertahankan penggunaan ikon dalam tata peribadatan. Bahkan dalam perjalanannya, ikonoklasme semakin berkembang dan menjadi kaum fundamentalis Gereja.
            Ikonoklasme dikutuk oleh Konsili Nicea II pada tahun 787. Konsili Nicea membela penghormatan terhadap gambar-gambar kudus dengan menyatakan:”karena semakin sering seseorang merenungkan gambar-gambar kudus ini, semakin suka cita ia dibimbing untuk merenungkan pribadi asli yang diwakili, semakin pula ia ditarik kepadanya. Karena penghormatan yang kita berikan pada suatu gambar menyangkut gambar asli di baliknya, dan siapa yang menghormati gambar berarti menghormati pribadi yang digambarkan di dalamnya.[7]

DAFTAR PUSTAKA

Heuken, Adolf. ”Ensiklopedi Gereja” , Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.

Bagus, Lorens. ”Kamus Filsafat”, Jakarta: Gramedia, 1996.

Saunders, P. William.” Sejarah Gereja Katolik”, terj. Yesaya. http: www. Indocel. Net/ Yesaya.

Kristiyanto, Eddy. Gagasan yang Menjadi Peristiwa, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Laarhoven, Kleopas. Gereja Abadi, Gunungsitoli/ Nias: [tanpa penerbit], 1974.





[1] Adolf Heuken, SJ,”Ensiklopedi Gereja,” (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005), hlm. 71.
[2] Lorens Bagus, ”Kamus Filsafat,”  (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 307.
[3] William P. Saunders, “Sejarah Gereja Katolik, terj. Yesaya, ” (http: www. Indocel. Net/Yesaya).
[4] Ibid.
[5] Eddy Kristiyanto, OFM, Gagasan yang Menjadi Peristiwa, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 145-149.
[6] William P. Saunders, Op. Cit.
[7] Kleopas Laarhoven, Gereja Abadi, (Gunungsitoli / Nias: [tanpa penerbit], 1974), hlm. 19. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar