MASALAH IKONOKLASME DALAM GEREJA
Pengantar
Kata
ikonoklasme berasal dari kata dasar bahasa Yunani yaitu eikon yang berarti
lukisan.[1]
Arti lain dari ikon adalah gambar, kesamaan, representasi dari sesuatu; gambar
atau tanda dari sesuatu yang menunjukkan atau mewakili sesuatu.[2]
Dalam arti sempit, ikon sering dimengerti sebagai gambar-gambar suci yang
dibuat pada papan (kayu) dengan teknik khusus untuk sebuah praktik
otentik-kerohanian pelukisan ikon. Dalam arti yang luas, ikon sering dimengerti
sebagai semua jenis lukisan suci, mosaik, dari emas atau perak yang dibuat
dalam rangka kegiatan membantu peribadatan Gereja Timur.[3]
Gereja Katolik Timur mempunyai kebiasaan menghormati tokoh-tokoh dalam bentuk
gambar-gambar suci, lukisan-lukisan suci yang begitu populer dan sangat berkembang
pesat.
Latar Belakang Munculnya Gerakan Ikonoklasme
Latar belakang munculnya ikonoklasme didasarkan
atas kecemasan terjadinya penyalahgunaan pada tatanan peribadatan. Maksudnya
dengan hadirnya ikon-ikon atau gambar-gambar tersebut dalam Gereja, dikuatirkan
orang tidak menghormati apa yang dihadirkan oleh gambar melainkan berhenti pada
gambar belaka. Jika demikian, maka peribadatan berubah menjadi penyembahan
berhala.
Ikonoklasme adalah sebuah gerakan
intern dalam Gereja Katolik Timur yang anti terhadap pemakaian gambar-gambar
seni religius sekitar tahun 717 masehi hingga tahun 843 masehi. Gerakan
ikonoklasme adakalanya dikaitkan dengan suatu paham yang mengacu pada gerakan
sosio-religius. Tetapi secara teologis, kontroversi tentang gambar-gambar
(seni) religius ini menyangkut konflik pandangan kristologis dari abad kelima
hingga kedelapan karena ikonoklasme dikaitkan dengan monophsitisme yang berkembang
di lingkungan kekaisaran sejak Konsili Khalsedon tahun 451. Salah satu pokok
yang diperdebatkan saat itu adalah ” kedagingan Kristus”, bahkan sesudah
peristiwa inkarnasi Kristus bukanlah subjek layaknya manusia biasa yang
disarati dengan kelemahan.[4]
- Aspek sosial dan ekonomi ikonoklasme.
Pada tahap pertama,
para pembela hormat bakti terhadap ikon terdiri dari para rahib. Tahun-tahun
terakhir masa pemerintahan kaisar Konstantinus V Capronimus (741-775),
banyak di antara para rahib menjadi martir dan pengaku iman karena membela
praktik devosional pada ikon. Kemenangan para devotan tahun 815 diinspirasikan
dan digerakkan oleh Abbas Teodorus serta para rahib di Studiun Konstantinopel.
Tidak ada keterangan bahwa para penentang devosi pada ikon telah bersikap
antimonastik.
Tahap
kedua, kelompok devosional menarik perhatian sebagian besar penduduk periferi
ibukota Bisantin. Mereka adalah pengrajin, kaum proletar di perkotaan, yang
tetap melakukan bakti penghormatan terhadap gambar-gambar suci. Perihal devosi,
doa-berdoa menjadi begitu subur di kalangan orang kecil dan kelas bawah.
- Aspek doktriner ikonoklasme.
Kontroversi
ikonoklasme pada dasarnya mengenai sasaran iman Kristen dan sifat peribadatan Kristen baik secara
pribadi maupun secara bersama. Sikap permusuhan ini tersebar ke Asia Kecil yang
mungkin disuburkan oleh tantangan kaum Muslim yang tidak memberi tempat pada ”ikon”
dalam tata peribadatan.
Berbagai Reaksi atas
Ikonoklasme [5]
Berhadapan dengan gerakan ikonoklasme
yang semakin marak, maka Kaisar Konstantinus V (Capronimus) mengundang sinode
para uskup dan sebanyak 338 uskup yang hadir tanpa paus ataupun salah seorang
Batrik Timur ( tahun 754). Sinode ini memutuskan semua bentuk penggunaan ikon
dalam tata peribadatan Gereja. Kaisar Konstantinus V (Capronimus) melaksanakan
intriknya dengan mengerahkan kekuatan senjata: membungkam, mengasingkan,
menghukum mati beberapa orang yang gigih membela kultus terhadap gambar-gambar
suci. Selain itu, dia juga menyita harta milik Gereja di Sicilia bahkan kemudian
ia mencaplok Sicilia, Calabria, dan Illiria yang meliputi Semenanjung Balkan
kecuali Tracia untuk menjadi yurisdiksi batrik Konstantinopel.
Kaisar Leo V Armeneus (pengganti Capronimus) lebih bertindak secara moderat. Ia
tidak membekukan ketentuan-ketentuan para pendahulunya (tidak mengecam poliotik
dan tidak menindak para pelanggar ketentuan sebelumnya). Para rahib yang
diekskomunikasikan, diperbolehkan untuk kembali pada tempat sebelum mereka
diasingkan. Irene tampil sebagai kaisar ketika ayahnya meninggal dunia. Irene
kemudian mengadakan sinode untuk memulihkan kultus-kultus terhadap penggunaai
ikon. Di tangan Irenelah bersama kekuatan para serdadunya mengadakan konsili
ketuju di Nicea.
Naiknya Leo IV Armenous (813-820), Mikhel II Balbus (820-829) serta Teofilus
(820-842) membangkitkan kembali gerakan pemusnahan ikon. Mereka memberlakukan
kembali ketentuan sinode tahun 754
bahkan terjadi pengejaran dan
penganiayaan selama kira-kira 30 tahun. Pada periode rentang waktu ini,
berkembanglah teologi yang mengecam gambar-gambar untuk digunakan dalam peribadatan,
tetapi teologi yang sama juga menolak menyamakan antara ikon dengan berhala.
Gereja Mendapat
Pencerahan
Para bapak konsili berkumpul di
bawah pimpinan utusan paus untuk menghapuskan keputusan-keputusan sinode tahun
754. Konsili memutuskan bahwa Gereja selayaknya dan seharusnya memberikan
penghormatan kepada gambar-gambar Kristus, Bunda Maria, para malaikat, dan
kepada para santo-santa karena penghormatan itu tidak berhenti pada gambar itu
sendiri melainkan kepada mereka yang ditampilkan oleh gambar tersebut.
Keputusan ini tetap dipertahankan oleh pengganti Irene yaitu: Niceforus I
(802-811) dan Mikhel I Rangabe (
811-813) selama kira-kira 13 tahun.
Munculnya Ratu Teodora (seperti
halnya Irene), yang menjadi kaisar untuk
mendampingi anaknya Mikhel III yang merupakan titik awal sikap Gereja yang
resmi terhadap kedudukan Gereja yang resmi terhadap ikon-ikon pada Gereja
selanjutnya. Ratu Teodora menetapkan penghormatan terhadap ikon atau
gambar-gambar suci, bahkan memegang teguh ajaran tentang kebaktian terhadap
gambar-gambar suci melalui Sinode Konstantinopel (Maret 843). Hingga saat ini,
penggunaan ikon atau gambar-gambar suci dalam peribadatan Gereja diterima
sebagai sarana bantu dalam peribadatan dan sebagai sarana bantu untuk berjumpa
dengan Allah. Gereja sangat dilarang untuk menyembah barang-barang rohani
karena hanya Tuhanlah yang pantas
disembah.[6]
Kebenaran
ortodoksi ini tidak hanya bersifat afirmasi terhadap kebenaran, tetapi juga
menciptakan perkembangan baru dalam kesenian suci, kultus relikui, dan liturgi.
Perkembangan lain meliputi pengaruh para rahib yang berperanan besar dalam
kehidupan Gereja Timur, menandaskan peranan para uskup dalam kesalehan populis
dan posisi Gereja sedikit banyak konserfatif. Ada suatu perjuangan yang baru
yaitu keberanian membela kebebasan Gereja dari urusan politik negara.
Penutup
Gereja melewati perjalanan hidupnya dengan
salah satu tantangan dari berbagai
bidaah, yaitu ikonoklasme.Golongan yang tidak setuju akan pemakaian ikon dalam
peribadatan mengekskomunikasikan golongan yang tetap mempertahankan penggunaan
ikon dalam tata peribadatan. Bahkan dalam perjalanannya, ikonoklasme semakin
berkembang dan menjadi kaum fundamentalis Gereja.
Ikonoklasme
dikutuk oleh Konsili Nicea II pada tahun 787. Konsili Nicea membela
penghormatan terhadap gambar-gambar kudus dengan menyatakan:”karena semakin
sering seseorang merenungkan gambar-gambar kudus ini, semakin suka cita ia
dibimbing untuk merenungkan pribadi asli yang diwakili, semakin pula ia ditarik
kepadanya. Karena penghormatan yang kita berikan pada suatu gambar menyangkut
gambar asli di baliknya, dan siapa yang menghormati gambar berarti menghormati
pribadi yang digambarkan di dalamnya.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Heuken, Adolf. ”Ensiklopedi Gereja” , Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005.
Bagus, Lorens. ”Kamus Filsafat”, Jakarta: Gramedia, 1996.
Saunders, P. William.” Sejarah Gereja Katolik”, terj. Yesaya. http: www. Indocel. Net/
Yesaya.
Kristiyanto, Eddy. Gagasan yang Menjadi Peristiwa, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Laarhoven, Kleopas. Gereja Abadi, Gunungsitoli/ Nias: [tanpa penerbit], 1974.
[1] Adolf Heuken, SJ,”Ensiklopedi Gereja,” (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2005),
hlm. 71.
[2] Lorens Bagus, ”Kamus Filsafat,” (Jakarta:
Gramedia, 1996), hlm. 307.
[3] William P. Saunders, “Sejarah Gereja
Katolik, terj. Yesaya, ” (http: www.
Indocel. Net/Yesaya).
[4] Ibid.
[5] Eddy Kristiyanto, OFM, Gagasan yang Menjadi Peristiwa,
(Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 145-149.
[6] William P. Saunders, Op. Cit.
[7] Kleopas Laarhoven, Gereja Abadi, (Gunungsitoli / Nias: [tanpa penerbit], 1974), hlm.
19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar