DI BUMI SEPERTI DI DALAM SURGA
Fr. Alfonsius Laia
Semua
manusia mendambakan hidup rukun dan damai. Hidup rukun dan damai dapat
digambarkan seperti
sekelompok orang yang bekerja sama membangun sebuah rumah. Tidak ada sebuah
rumah dapat dibangun oleh seorang manusia saja. Rumah mesti dibangun secara bersama-sama. Maka, dalam proses pembangunan di
antara para pekerja harus ada kerja sama yang solit yang menguntungkan semua pihak. Hal ini bertujuan untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang
terdapat di antara mereka, baik perbedaan profesi maupun perbedaan spesifikasi. Ada yang ahli mengelola bahan material, ada yang keahliannya mencampur cat untuk menghasilkan
perpaduan warna
yang indah, dan ada juga keahliannya sebagai mandor yakni instruktur
bangunan dengan tugas memberi aba-aba dan mengingatkan para pekerja lainnya akan tugas dan
tanggung jawab mereka. Kerja sama di antara kelompok ini akan menghasilkan karya yang besar yakni sebuah rumah sebagai
tempat untuk berlindung.
Kerja
sama merupakan syarat mutlak terciptanya suasana damai, rukun dan aman dalam
hidup bersama, baik sebagai komunitas Gerejawi maupun sebagai bagian masyarakat
pada umumnya. Hal ini merupakan suatu keharusan mengingat jati diri manusia
sebagai makluk sosial. Setiap manusia memiliki ketergantungan sosial dimana
keberadaan satu orang turut ditentukan oleh keberadaan orang lain.
Rasul
Paulus menyadari pentingnya membangun kerja sama tersebut di dalam komunitas. Dalam surat kepada Jemaat di Galatia ia
mengingatkan: “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu
memenuhi hukum Kristus” (Galatia 6:2). Berdasarkan ajaran Paulus ini dapat
dikatakan bahwa secara hakiki kerja sama merupakan suatu
keutamaan Kristiani. Dan hal ini tampak dalam sejarah
keselamatan umat Perjanjian Baru. Dalam kisah Para Rasul 2:41-47 misalnya
digambarkan bagaimana semangat ini menghidupi cara hidup jemaat perdana.
Berdasarkan iman dan pengharapan yang sama komunitas awal tersebut berupaya
hidup dalam semangat kerja sama untuk menciptakan tatanan hidup bersama dimana
Roh Kristus yang telah bangkit menghidupkan mereka. Maka, dalam persatuan itu
tidak mungkin seseorang menganggap diri lebih tinggi dan lebih berharga. Semua
anggota adalah sama. Sama di hadapan Allah (bdk. Kis 4:32-37). Kita pasti
betanya: tidak adakah konflik akibat keanekaragaman kebutuhan, ide dan gagasan
di antara para jemaat itu? Bagaimana itu diatasi?
Berbicara
tentang hidup berkomunitas tanpa menyebut konsekuensi-konsekuensi logis yang menyertainya
tampaknya tidak sehat. Tidak ada komunitas hidup tanpa konflik. Di dalam
komunitas jemaat perdana hal yang samapun terjadi. Dalam Kisah Para Rasul bab
15 misalnya dikisahkan bagaimana terjadi konflik di antara para rasul
mengenai pengajaran tentang sunat atau tidak bersunat yang pada akhirnya
melahirkan sidang di Yerusalem yang sering kita sebut sebagai Konsili pertama.
Konflik yang terjadi di antara para rasul tentu berdampak juga pada komunitas
beriman. Tetapi, kesadaran akan Kristus sebagai Tuhan dimana mereka memberi
hidup untuk mewartakan Injil-Nya menyadarkan mereka untuk bersatu dan hidup
dalam semangat cinta kasih. Yang terpenting dalam membangun kerja sama untuk
mewujudkan hidup damai dan rukun adalah komunikasi.
Perlu
disadari bahwa membangun kerja sama di atas pluralitas bukanlah hal yang
gampang. Tetapi tidak mungkin tidak tercapai. Di layar televisi dan media massa
cetak hampir setiap saat menyungguhkan berita tentang kekerasan, penganiayaan
akibat tiadanya kerja sama. Situasi Indonesia saat ini barangkali sangat tepat
untuk menggambarkan hal ini. Penjajahan ideologi semakin marak terjadi,
diskriminasi kepada kelompok minoritas oleh kelompok mayoritas semakin
menjadi-jadi, kesenjangan sosial antara orang kaya dan orang miskin semakin
menciutkan nyali sebagian aktivis untuk menyuarakan kesejahteraan bagi seluruh
lapisan masyarakat.
Realitas
di atas merupakan bukti akan semakin absenya rasa damai dan kerukunan di dalam
masyarakat. Di hadapan kegelisahan ini seorang beriman yang kokoh tidak boleh
menciut nyalinya. Dia harus menyuarakan keadilan dengan merangkul semua orang
walaupun terkadang ia bagaikan seorang yang berseru-seru di padang gurun
belantara, dimana suaranya tidak terdengar oleh siapapun. Seorang kristiani
bertugas untuk mengerjakan kebenaran dan keadilan yang menghasilkan damai dan
sukacita bagi semua manusia. Sebab, dimana ada kedamaian, kgembiaraan dan
sukacita di sanalah kita menemukan Kristus. Namun, hidup damai, kegembiraan dan
sukacita dalam relaitas keanekaragaman hanya mungkin bila ada kerja sama yang secara
menyeluruh.
Agar
kerja sama yang solit dapat tercapai secara sungguh-sungguh dan berkelanjutan, perlu diperhatikan syarat-syarat berikut; Pertama,
berani mengubah konsepsi pribadi tentang
orang lain. keyakinan akan adanya nilai-nilai baik pada orang lain harus
tumbuh dalam hati. Keberanian melihat nilai-nilai positif pada orang lain
merupakan langkah awal tercapainya kerja sama yang sinergis. Kedua, siap untuk diubah. Tidak semua ide,
gagasan dan cara berada kita dapat diterapkan kepada orang lain pada waktu dan tempat yang sama.
Kesiapsediaan diubah dalam arti ini adalah kerendahan hati untuk mendengar orang lain demi
terapainya tujuan bersama dimana setiap anggota komunitas merasa diuntungkan. Ketiga,
mau dikoreksi. Keempat, percaya kepada
orang lain. Ini merupakan
unsur yang sangat penting dalam kerja sama dan karena itu merupakan landasan
bagi terwujudnya kerukunan antara sesama manusia. Kelima, penghargaan yang tinggi terhadap nilai hidup manusia. syarat yang
terakhir ini merupakan fundamen yang sangat penting bagi tercapainya kerukunan
dan kedamaian. Banyak tindak kekerasan yang melanggar Hak Asasi Manusia terjadi
saat manusia yang lain merasa lebih tinggi derajatnya dibanding dengan manusia lain. Benarkah demikian? Tidak! semua manusia secara hakiki
adalah sama di hadapan Allah. Dan karena itu, juga sama di hadapan hukum. Tidak ada seorangpun yang dapat mengklaim
bahwa dirinya lebih tinggi. Perlu
diperhatikan bahwa kesenjangan yang terjadi oleh karena konflik agama kerap
disebabkan oleh paham yang salah tentang pengertian akan manusia dan
nilai-nilainya. Akibatnya adalah klaim akan otoritas kebenaran ekslusif secara
buta oleh agama tertentu. Padahal sebenarnya agama adalah bagian dari
solidaritas Allah untuk menyelamatkan manusia. Karena itu, agama tidak boleh
dijadikan alasan tindak kekerasan kepada sesama manusia apalagi mengatasnamakan Allah. Agama tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Justru di sana dinyatakan kehendak Allah kepada manusia yakni untuk menciptakan
damai, kegembiraan dan sukacita kepada sesama manusia. Maka,
untuk menciptakan suasana damai di dalam masalah kompleks
ini Hans Kung mengingatkan bahwa: “No
peace among the nations without peace among religions. No peace among religions
without dialque between religions. No dialogue between the religions without
investigations the foundation the religions”. Dialog yang jujur dan ihklas
adalah pintu gerbang bagi perdamaian. Hidup manusia merupakan harga mati, tidak bisa ditawar-tawar. Hanya Allah
yang berhak atas hidup manusia. Tindakan-tindakan kekerasan apapun kepada
manusia dengan alasan apapun tidak bisa dibenarkan.
Syarat terakhir, keenam adalah evaluasi
dan semangat mebarui komitmen. Pasti ada kegagalan dan keberhasilan dalam
membangun kerja sama untuk mencapai suatu tatanan dunia yang harmonis, maka
semua langkah yang telah diambil dan dilakukan perlu dievaluasi dengan tujuan
memperoleh semangat baru, komitmen baru.
Kerja
sama sebagai unsur penting penciptaan hidup yang damai dan rukun merupakan
tugas dan kewajiban
semua manusia, secara khusus umat kristiani. Yesus mengajarkan agar kita saling
mengasihi sebagaimana ia telah mengasihi kita (bdk…). Dengan berbuat demikian, kita telah menghadirkan suasana Kerajaan
Allah di dunia. Bukankah damai, sukacita, kasih serta keadilan merupakan
nilai-nilai Kerajaan Allah yang dibawa oleh Yesus Tuhan kita? Santo Yohanes
dari Salib berkata: “Dimana tidak ada kasih, kerjakanlah kasih, dan di sanalah engkau akan menuai
kasih”. Hal yang sejajar dapat dikatakan; dimana rasa kerja sama antara sesama manusia absen,
berupayalah untuk merangkul mereka menapaki lorong-lorong kehidupan dalam
kebersamaan sebagai saudara dan saudari, maka di sana engkau akan menemukan
damai dan kerukunan. Dan, dimana ada damai dan kerukunan di
sana engkau menemukan wajah Allah.
Note: artikel ini
telah dimuat dalam Majalah PETRA Seminari Tinggi St. Petrus Pematangsiantar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar