Senin, 03 Desember 2012

PROJO



P R O J O
Fr. Alfonsius Penyabar Laia

ret-ret akhir tahun 2010 bersama teman-teman seangkatan di TOR St. Markus Pematangsiantar
Pada suatu kesempatan libur tahunan, sebagai calon imam diosesan yang sedang mengikuti proses formatio di Seminari Tinggi Santo Petrus pematangsiantar, saya mengisi liburan di sebuah Paroki. Selama satu minggu di paroki yang dilayani oleh para Pastor dari suatu Ordo tersebut, saya berjumpa dengan umat. Ketika menghadiri perayaan Ekaristi bersama umat dimana saya menggunakan jubah putih, seperti (calon) imam diosesan lainnya, banyak yang merasa heran. Ada orang asing dalam kawanan mereka. Maklum, putera paoki itu baru satu orang yang terpanggil menjadi calon imam diosesan. Di antara umat yang hadir ada yang cukup kenal dengan Projo (sapaan lain bagi imam diosesan). Dia berkomentar tentang Projo yang menurut saya agak janggal dan perlu diperbaiki. Dikatakan bahwa Projo itu adalah imam yang kaya, hidup mewah, boleh suka-suka dan hidup tidak teratur. Benar tidaknya konsep tentang imam diosesan ini tergantung pengalaman perjumpaannya dengan para imam yang disebutnya, tetapi ini merupakan kesimpulan yang salah. Tidak bisa dikenakan kepada semua imam diosesan.
            Benar, bahwa konsep semacam itu tumbuh dikalangan umat bahkan dikalangan para biarawan dan biarawati sendiri. Saat memulai kuliah Filsafat di STFT St. Yohanes ada sejumlah suster sekelas dengan saya. Di antara mereka ada yang berkomentar hal yang sama bahwa Projo adalah imam yang kaya, dll. Pemahaman ini sudah lama hidup dalam benak umat beriman bahwa imam diosesan diidentikkan dengan imam yang kaya. Masa ia? Alasannya ialah bahwa imam diosesan tidak mengingkarkan kaul. Memang imam diosesan tidak mengikrarkan kaul yakni tiga nasehat injili; kemiskinan, kemurnian dan ketaatan. Kaul hanya berlaku bagi biarawan/biarawati yang hidup seturut kharisma pendirinya. Dalam penghayatan ketiga kalu tersebut, seorang biarawan/biarawati mengejar kesucian hidup dalam doa, karya dan kesaksian hidup sehari-hari. Kendati tidak mengucapkan tiga nasehat Injili, bukan berarti bahwa tiga keutamaan cinta kasih itu tidak berlaku bagi setiap imam (calon) imam Projo. Teringat ketika menerima jubah pada 4 Oktober 2007, dalam doa penyerahan diri dimohonkan kekuatan rahmat Allah agar membantu untuk menghayati tiga nasehat Injili ini dalam totalitas diri sebagai yang terpanggil. Dan, ketika seorang calon imam Projo menerima tahbisan dari Uskup, ia mengucapkan tiga nasehat ini. Bagi setiap imam (calon) Projo hal ini disebut janji. Sebagai imam, seorang imam Projo hidup dalam kemurnian dengan bertarak pada perkawinan. Hidup sederhana dengan penghayatan yang total terhadap kemiskinan dan berjalan dalam ketaatan kepada Uskupnya sebagai “tuan” dan bapa baginya. Dengan cara demikian, setiap imam Projo dalam hidup sebahari-hari berupaya mencapai kesucian hidup dalam intimitas cinta kepada Allah dan kepada sesama manusia dimana ia berkaraya. Maka, tidak seorangpun imam diosesan yang katanya karena tidak mengucapkan kaul kemurnian boleh menikah, atau hidup kaya raya sementara umat yang dilayaninya hidup dalam garis kemiskinan dan tidak ada imam diosesan yang pelayanannya eksis tanpa uskup.
            Berbicara tentang penghayatan kemiskinan dan ketaatan, dikalangan kami dalam kebersamaan dengan saudara-saudara dari berbagai ordo, kami kerap kali berkomentar: “Kalian (maksudnya biarawan) mengikrarkan kaul, kami yang menghayati”. Tentu, ini hanyalah komentar seloroh. Yah, sekedar menghidupkan suasana persaudaraan agar semakin akrab dengan komentar yang agak miring itu. Bukankah, kedewasaan seorang individu ditentukan sejauh mana ia sanggup menerima ejekan dan mengartikannya secara positif? Benar saja, komentar ini sering mengundang tawa karena diikuti berbagai komentar. Kendatipun sekedar seloroh, kiranya komentar ini mengandung makna yang kiranya mengajak setiap kita berefleksi. Bukankah, suatu pernyataan lahir dari realitas? Saya tidak mengatakan bahwa biarawan/biarawati tidak sepenuhnya atau setengah hati menghayati kaulnya, dan justru imam diosesan yang sungguh-sungguh menghayati nasehat Injili tersebut. Setiap subjek terpanggil dianugerahi rahmat untuk menghayati dan mengartikan hidup panggilannya secara benar dan penuh dedikasi kepada Allah. Tiga nasehat Injili yang diwariskan oleh Yesus kepada Gereja-Nya merupakan media mencapai kesucian hidup. Setiap kita diapanggil untuk hidup suci di hadapan Allah. Yesus berkata: “hendaklah kamu kudus, sama seperti Aku adalah kudus”. Maka, kualiats hidup kita menentukan konsep yang tumbuh dalam lingkungan komunitas Gerejawi kita. 
            Berbicara tentang ketaatan, ada isitlah yang hidup dikalangan para imam bahwa imam diosesan lebih taat dibandingkan imam dari ordo atau konggregasi atau serikat. Benarkah demikian? Imam praja adalah imam yang ditahbisan untuk menghayati satu imamat dengan Kristus dalam Gereja lokal atau dioses. Secara penuh, imam diosesan menghayati imamatnya dalam kepenuhan imamat Kristus sebagai figur utama setiap imam diosesan. Imam diosesan tidak memiliki figur pendiri seperti pada ordo atau konggregasi atau serikat. Imam Diosesan didirikan oleh Kristus sendiri. Maka, Kistus menjadi model hidup setiap imam diosesan. Dia yang adalah Allah dari Allah, rela turun ke dunia menjumpai manusia dan hidup dalam kesederhanaan serta menjadi serupa dengan manusia (bdk. Filipi 2:…).
Ketaatan kepada Kritus sebagai Imam Agung, diaktualisasikan dalam relasi dengan Uskup diosesan. Secara relasional, imam diosesan wajib dan terikat membangun hubungan communio, yang bersifat kanonik, spiritual dan sakramental dengan Uskup. Secara kanonik imam diosesan eksis apabila memperoleh surat inkardinasi dari Uskup. Surat ini memberi dasar wewenang, hak sekaligus kepada imam praja untuk selalu dan “tetap dipersatukan dengan Uskup berdasarkan penugasan baru dan secara khusus ditempatkan untuk mengabdi persekutuan khusus, yaitu Dioses atau Keuskupan. Secara sakramental kepenuhan imamat seorang imam, keseluruhan pelayanan suci berada pada Uskup, sebab dengan tahbisan Uskup, diterimakan kepenuhan Sakramen Imamat ke atas diri orang tertahbis. Imamat imam projo merupakan partisipasi pada imamat Uskup. Selain bersifat kanonik dan sakramental, persatuan antara imam diosesan dengan Uskup juga bersifat spiritual. Secara spiritual, bagi imam projo Uskup adalah “bapa dan gembala” sebaliknya, bagi Uskup imam diosesan adalah “seorang sahabat dan putra”.
            Sebagai imam untuk keuskupan, seorang imam Projo menghayati hidupnya sebagai alter christi dalam pelayanannya secara sakramen dan sakramentali di tengah-tengah umat yang dipercayakan kepadanya. Keuskupan merupakan lahan atau “rumah” bagi imam Projo. Imam projo diutus ketengah-tengah dunia, masyarakat, umat Allah untuk penyuciannya. Dalam ciri “ke-dunia-an” inilah seorang imam projo menghayati spiritualitasnya. Spiritualitas imam diosesan tergambar dalam situasi konkret umat Allah dalam wilayah teritorialnya secara total. Spiritualitas yang dihidupi setiap imam diosesan adalah spiritualitas kemuridan dan sipritualitas kerekanan, spiritualitas kesahabatan atau spiritualitas persaudaraan. Dengan demikian, imam praja membawa Dia, Sang Guru kepada saudara-saudarinya dan membangkitkan semangat untuk mencari Dia (lih. PDV, no. 46).
Dalam WARKES edisi no. 22/VI/2012, Yang Mulia Mgr. Ludovicus Simanullang (Panggilan calon Imam), memaparkan secara statistik presentase imam Projo Keuskupan Sibolga. Saat ini, imam projo Keuskupan Sibolga berjumlah 34 orang. Dari jumlah tersebut, secara presentase imam yang berasal dari Keuskupan Sibolga sendiri (Dekanant Nias dan dekanat Tapanuli) sangat minim yakni 13 orang. Maka, Bapak Uskup mengajak umat untuk bertanya: “mengapa demikian?” Ajakan ini mengandung makna yang sangat dalam. Realitas ini merupakan tantangan sealigus peluang bagi umat Keuskupan sibolga sendiri. Tantangan karena Gereja Keuskupan adalah milik semua umat Allah. Artinya, perjalanan Gereja ini tidak hanya ditanggungjawapi oleh Uskup dan para imamnya, tetapi semua umat Allah. Di sisi lain, kenyataan ini menjadi peluang untuk menyadarkan kaum muda supaya mendengarkan panggilan Allah atas diri mereka, juga keluarga supaya memberikan putera mereka bagi pengerjaan panenan kebun anggur Allah.
            Akhirnya, tidak jarang keterarikan seorang calon imam pada serikat, ordo atau terekat ditentukan oleh konsep atau pemikiran yang tumbuh dalam lingkungan keluarga, paroki dan stasi. Sayang bahwa kerapkali konsep yang tumbuh itu, tidak sesuai dengan kenyataan. Apa dan bagaimana sebenarnya imam projo? Jawaban atas pertanyaan ini cukup diberikan dengan jawaban Yesus kepada para murid Yohanes Pembabtis yang hendak mengukiti-Nya: “Mari dan lihatlah”. Siapa projo sebenarnya? Ya, mari dan lihatlah…!!! Dengan hadir dan melihat secara nyata kehidupan para imam (calon) projo niscaya akan tumbuh cinta yang mengabdi. Perlu diingat betapa pentingnya keberadaan imam projo dalam suatu keuskupan. Meminjam pernyataan klasik bahwa:
”Sebuah Gereja partikular tanpa imam diosesan sama dengan ‘harimau ompong’, tanpa kekuatan”. Imam diosesan merupakan tunggal dan akar Gereja partikular.

Note: artikel ini telah dimuat dalam Majalah Warta Keuskupan Sibolga.

           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar